DILEMA GURU PAI, DUALISME PENANGANAN & BERADA DI PERSIMPANGAN JALAN

Oleh : Rimelfi St. Bagindo Rajo
Ketua-1 DPP AGPAII

Bismillahirrohmanirrohim

Akhir-akhir ini, riak dan gejolak penanganan Guru PAI yang dianggap “dualisme penanganan” menuai banyak reaksi, dinamika dan kontroversi.

Ada beberapa pertanyaan yang sering muncul di lapangan, diantaranya :
1. Sejauh mana kekuatan & implementasi PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama & Keagamaan.
2. Mengapa antrian panjang Sertifikasi Guru PAI tak kunjung selesai?
3. Apakah kekurangan Guru PAI ASN tidak menjadi prioritas?
4. Penanganan Guru PAI pada aspek kesejahteraan dan kompetensi sebenarnya tanggung jawab siapa?
5. Mengapa Guru Mapel lainnya di sekolah nyaris tidak ada masalah begitu juga dengan guru madrasah lancar-lancar saja, mengapa kok persoalan guru PAI begitu sulit untuk dikelarkan?

Banyak lagi pertanyaan-pertanyaan senada yang muncul di lapangan baik itu yang sifatnya komentar biasa dan tidak sedikit komentar yang menohok.

Saya mencoba menguraikan fakta dan akar masalah terkait penanganan guru PAI yang memang berdasarkan kondisi riil dan fakta yang ada.

Masalah-masalah yang dihadapi Guru PAI saat ini setidaknya ada beberapa poin ;

  • Kekuatan regulasi
  • Implementasi regulasi yang belum maksimal.
  • Keseriusan dan kesungguhan pemerintah
  • Dualisme penanganan

Masing-masing poin dapat dijabarkan sebagai berikut.

1. Kekuatan Regulasi
Baik itu UU Sisdiknas, PP Nomor 5 tahun 2007, ataupun PMA yang diluncurkan oleh Kementerian Agama, agaknya perlu dibedah, ditakar kekuatannya dan lebih dispesifikasi agar menjadi jelas, kuat dan pantas untuk fokus pada penanganan, kesejahteraan dan kompetensi Guru PAI.

Seringkali kita dihadapkan pada persoalan dilematis di lapangan, ketika Guru PAI ke Kemenag, ada narasi yang muncul “Bapak/Ibu kan pegawai dinas/pemda, bagaimana bisa kami intens mengurus pegawai yang bukan pegawai kementerian kami” ? Kalimat ini pernah dilontarkan oleh salah satu pejabat di kementerian tsb di sebuah acara workshop.
Nah, ketika Guru PAI ke Dinas Pendidikan/Pemda, pejabat disana melontarkan kalimat “Bapak/ibu Guru PAI kan urusannya ke Kemenag, kami tak bisa apa-apa karena terikat PP Nomor 55 Tahun 2007”.
Hal ini berbeda dengan Guru PAI yang memang di SKkan oleh Kemenag yg jelas “nasab & nasibnya”.

Namun dengan terus fokus pada status kepegawaian di Disdik/Pemda, tidak sedikit Guru PAI yang fokus mengikuti program-program Kemendikbud, karena memang merasa status guru di sekolah sama, “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” dengan guru mapel lainnya.

Namun ketika dihadapkan pada pertanyaan mengapa banyak guru PAI yang belum disertifikasi?, mengapa pengadaan ASN Guru PAI belum maksimal?, tidak banyak yang bisa menjawab dengan jawaban yang masuk akal.

2. Implementasi Regulasi & Amanat Undang-undang yang Belum Maksimal

Lahirnya Direktorat PAI dibawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI menjadi angin segar bagi Guru PAI Indonesia. Dengan harapan bahwa penanganan Guru PAI terurus dengan fokus dan serius.

Empat belas tahun lebih kurang usia Direktorat ini telah banyak melahirkan program-program keren dan capaian-capaian luar biasa. Seperti Pentas PAI, Kemah Rohis, PPKB PAI, workshop-workshop, peningkatan kualifikasi dll. dengan anggaran yang sangat fantastis. Kita tentu sangat mengapresiasi ini dan harus diperkuat dan dilanjutkan.

Namun jika kembali ke persoalan sertifikasi dan pengangkatan ASN PAI urusan Kembali buntu dengan alasan anggaran yang terbatas. Mayoritas guru PAI berfikir, mengapa kok program-program besar di Direktorat bisa “dikapitalisasi” sedangkan sertifikasi seperti tidak begitu difokuskan.

Saya masih ingat ketika duduk bersama Direktorat PAI dan Dirjen GTK di Lt. 11 Kantor Dirjen GTK Kememdikbud bersama DPP AGPAII, Dirjen GTK pada waktu itu terkejut, “Kok bisa persoalan Guru PAI dan antrian PPG Guru PAI seperti ini? Kami disini punya prinsip bahwa pentingkan program skala prioritas untuk dituntaskaskan, tidak boleh menunggu lama, pekerjaan kita banyak”, begitu tukas Dirjen GTK pada waktu itu.

3. Kesungguhan & Keseriusan Pemerintah

Keseriusan & kesungguhan pemenrintah menuntaskan permasalahan-permasalahan penting dan mendesak di tubuh PAI menjadi sangat penting. Saya masih ingat, ketika salah satu pengurus DPP AGPAII yang sekarang sudah menjadi pejabat di Dinas Pendidikan salah satu Kota di Indonesia, mengatakan “Butuh keputusan dan kebijakan yang luar biasa untuk menyelesaikan masalah antrian panjang PPG dan darurat PAI”. Hingga pada waktu itu DPP AGPAII bergerak dengan berbagai cara. Di dunia maya bergerak dengan tagar #darurat_pai dst., mengadakan rapat, audiensi, RDP dengan DPR RI, Kemendikbud, dll.

“Ada aksi, ada reaksi” itu yang saya istilahkan kepada teman-teman. Diantara buah dari gerakan tersebut adalah kuota PPG PAI yang kosong pada tahun 2020, dibuka kembali pada tahun berikutnya meski dengan jumlah yang belum mencapai harapan. Pemerintah hanya mampu menganggarkan 2000 Guru PAI pertahun, sedangkan yang belum PPG mencapai 30-40rb orang lebih. Dengan demikian dibutuhkan waktu 20-30 tahun untuk menuntaskannya. Hal ini berbeda dengan Kemendikbud mampu memPPGkan 27.000 guru pada tahun 2020 secara daring, dan itu bisa dan tuntas.

Begitu juga, awalnya kuota ASN PPPK untuk guru agama tidak ada, kembali nyali jihad AGPAII diuji, akhirnya kuota itu ada.

Namun sampai hari ini, kebijakan yang diluncurkan belum secara signifikan menyelesaikan masalah. Pertanyaannya, haruskan “dijuluk” dulu baru bisa?, haruskah beraksi dulu baru ada reaksi?, bagaimana implementasi dan amanat undang-undang?. Kembali Guru PAI dibujuk dengan kata-kata sabar, sabar, sabar, kita guru agama tidak boleh kritis-kritis, harus santun, harus sabar, dukung dan support program pemerintah, bla bla bla. Di akar rumput anggota kita menjerit. Ada 40rb guru PAI yang belum sertifikasi, dan yang belum ASN ada 60% lebih.

Maka penulis sepakat, butuh kebijakan yang luar biasa.

Saking seringnya berkoar-koarnya, pernah ada yang mengatakan “Jadi menteri aja loe! Biar urusan selesai”. Saya tertawa menanggapinya, sebab di otak dan hati saya berkata organisasi profesi harus hadir di tengah anggota untuk mnyelesaikan persoalan-persoalan kesejahteraan anggota jika memang DNA AGPAII itu adalah advokasi,

Maka menjadi penting ke depan, mementingkan dan menyelesaikan persoalan2 di tubuh PAI, 2 persoalan penting yaitu PPG & PPPK.

4. Dualisme Penanganan Guru PAI, Efektikah!?

Dari satu sisi kita sangat bersyukur memiliki dua Kementerian yang sangat dekat dengan Guru PAI, yakni Kemenag dan  Kemendikbud. Banyak program-program Kemendikbud yang diikuti Guru PAI hingga secara karier banyak Guru PAI yang menjabat, sebagai Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah, bahkan jadi pejabat struktural.

Begitu juga di Kemenag, banyak yang jadi pengawas, meski sangat terbatas dan adanya prioritas-prioritas tertentu dll.

Kita bersyukur bisa berkiprah di dua lembaga dalam tanda kutip, terlibat dan berada dalam dua naungan lembaga, namun di lapangan, seperti yang telah disampaikan di atas, acap kali guru PAI dioper-oper dalam mengurus sesuatu yang memang menjadi haknya seperti PPG dan ASN PPPK.

Untuk kita ketahui, sampai hari ini masih banyak yang “gagal paham” terkait status Guru PAI, mulai dari tingkat sekolah, dinas, pemda, Kemenag, hingga lembaga dan pejabat negara sekalipun.

Seperti yang sudah dikemukakan di muka, misalnya teman sejawat di sekolah atau di Dinas bilang “Bapak/Ibu pegawai kemenag ya!?”
Begitu juga di Kemenag “Bapak/Ibu kan pegawai pemda”

Begitulah faktanya, maka lahirlah sebuah istilah “Guru PAI adalah anak kandung yang dilahirkan oleh pemda dan dijadikan anak angkat oleh kemenag, namun terlantar” kecuali yang jelas nasab dan nasibnya seperti GPAI pegawai Kemenag.

Banyak yang bertanya kepada saya, “Kamu ngapain repot-repot ngurusin itu, kamu kan sudah ASN, sudah sertifikasi, sudah aman, sudahlah, nikmati aj!”.
“Saya begini karena saya pengurus organisasi, mengurus anggota. Jika bukan pengurus saya tidak perlu banyak bicara, cukup diurus oleh pengurus. Jika pengurus tak mau mengurus, berhenti jadi pengurus,” kira-kira begitulah doktrin saya.

Kesimpulan
1. AGPAII sbg organisasi “berkelas dunia” dibuktikan dengan kerjasama yang luar biasa dengan berbagai NGO dan lembaga dunia. Memiliki jaringan kuat dari pusat hingga kecamatan dengan jumlah “pasukan” lebih kurang 270rb anggota dengan slogan “di atas rata-rata”, “beyond imagination” dll. Dan itu memang terbukti, TENTU PERLU AGPAII DUDUK BERSAMA DENGAN PEMERINTAH MENUNTASKAN PERSOALAN2 DI TUBUH PAI.

2. Untuk melepaskan PAI pada satu penanganan di satu kementerian, itu bukan pekerjaan gampang sebetulnya. Jika Kemenag melepas PAI, maka HILANG SATU DIREKTORAT. Kemudian, tentu kembali ke regulasi dan amanat undang-undang.

SEMOGA PENGURUS AGPAII DIMANAPUN BERADA, BESERTA KELUARGA & JAJARAN KERJA, DIBERI KEKUATAN KESEHATAN LAHIR DAN BATIN UNTUK TERUS BERJUANG BERGERAK UNTUK PAI, UNTUK GPAI & UNTUK ISLAM AGAMA ALLAH

Wallahu A’lam bisshawab

Sumber featured image https://id.quora.com/

Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia