Fait Accompli Ijtihad Furada: Beda Hari Raya

By Muchotob Hamzah

Pada era digital ini, semua ormas/ideologi dan ‘awamul muslimin difetakompli untuk berijtihad furada. Maksud fait accompli secara sederhana adalah “dipaksa”. Memang bukan berijtihad menentukan hukum dari sumber asasi Islam Al-Qur’an dan Sunnah yang memerlukan keahlian. Karena ijtihad mutlak itu telah dilakukan secara apik, komperehensif dan tuntas oleh para mujtahid mutlak dengan segala perkembangannya sampai kini.

Sukseskan Kongres IV AGPAII dengan 1 juta quote Pancasila
klik https://linktr.ee/panitiakongres

Adapun yang dihadapi sekarang, adalah berijthad untuk mengesekusi varian fatwa yang bertebaran dalam kasus hukum yang opsional via berbagai media. Meskipun berdasar pengalaman ujungnya ‘awamul muslimin bertaqlid atau berittiba'(istilah ittiba’ sekarang beda tipis dengan taqlid, karena banyak dari yang ittiba’pun tak sempat konfirmasi sumber secara tuntas), mereka tetap harus berijtihad kecil jika mau melaksanakan fatwa tsb.
Ada dialog di kalangan kaum muslimin yang tidak berujung. Ada yang bilang, “Kamu shiyam pada hari ini hari tasyriq, berarti hukumnya haram”. Hal ini telah jelas dalam hadits Nabi saw.disebutkan:”Hari-hari Mina adalah hari makan, minum dan berzikir kepada Allah SWT.(Muslim II/800). Pada redaksi lain sabda Nabi saw. dengan inti yang sama (Al-Asqalani, Fath al-Bari II/242). Sementara si muslim lain yang diajak bicara bilang.” Saya meyakini dengan basis ru’yat (Muttafaq ‘Alaih) hari ini belum hari raya dan belum juga tasyriq. Ru’yat itu diktumnya khusus, sedang hisab diktumnya umum”.

Ilustrasi perjalanan malam hari di gurun pasir (Sumber: serangnews.pikiran-rakyat.com)

Dialog kedua orang ini biasanya tak ada kelanjutan selain mereka mengikuti keyakinan masing-masing. Atau salah satu dari mereka mengikuti yang lain. Tanpa ingin melanjutkan percakapan, mereka anggap hal itu semantara sudah selesai. Bagian besar mereka mengikuti pemerintah dan bagian yang lain ormasnya. Di antara mereka ada juga yang melihat bahwa di dunia ini tidak ada ormas Islam yang menetapkan kapan hari raya kecuali di Indonesia. Di Al-Azhar Mesir, Prof. Musa Syahin Lasyin yang mengunggulkan hisab-pun mengikuti penetapan pemerintah yang memakai metode ru’yat.
Tetapi ada fakta bahwa semua orang muslim berhaji mengikuti ketetapan pemerintah Saudi Arabia apapun ormas dan ideologinya. Mereka wuquf dan idul adha bersama pemerintah Saudi Arabia juga.
Beda hariraya ini ada dugaan pernah terjadi di zaman Nabi saw. (Muslim, 1087). Adapun fakta yang pernah terjadi, adalah perbedaan metode penentuan waktu salat pada peristiwa perang Bani Quraizhah. Kisahnya ada pasukan yang diperintah oleh Nabi saw. untuk memasuki kampung Bani Quraizhah dan salat ashar di sana. Diktumnya:
“لايصلين احد العصر الا في بني قريظة. Artinya: Jangan ada seorangpun yang salat asar kecuali di kampung Bani Quraizhah (Bukhari, 4119). Dalam sahih Muslim disebutkan salat zhuhur (Muslim, 1770). Perbedaan zuhur/ ashar dari dua riwayat itu sudah dikompromi oleh para ulama.

Dukung petisi Darurat Guru Agama
klik https://www.change.org/DaruratGuruAgama

Tetapi dari diktum itu mereka berbeda faham. Sebagian memahami harus jalan cepat dan salat ashar di tengah jalan sebelum sampai kampung Bani Quraizhah (kontekstual). Sedangkan yang lain memahami salat asharnya harus di kampung Bani Quraizhah meskipun waktu salat bisa jadi kadaluarsa sehingga ada yang salat ashar sudah waktu isyak (tekstual). Ketika hal itu disampaikan kepada Nabi saw. beliau cenderung membenarkan dua faham tsb.
Ada rujukan yang lebih konkrit dalam perbedaan hilal tersebab perbedaan negeri. Kisah ringkasnya, seorang bernama Kuraib menemui Muawiyah ra.di Siria. Setiba di sana, Kuraib dan banyak orang melihat hilal dan shiyam mulai hari Jumat. Ketika dia kembali ke Madinah sebulan kemudian, ia ditanya oleh Ibnu Abbas ra. yang melihat hilal dan shiyam hari Sabtu. Kuraib bertanya:”Kenapa kalian tidak shiyam bersama Muawiyah?” Sahabat Ibnu Abbas ra. menjawab;”Laa, haakadzaa amaranaa rasulullah saw.=tidak, ini adalah perintah Rasulullah saw. kepada kami” (Muslim, 1087). Berarti ada contoh toleransi dalam perbedaan shiyam/hariraya.
Wallahu A’lam bis- Shawaab!!!

Kontributor : Rakhmi Ifada

Featured image oleh https://tdjamaluddin.wordpress.com

Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia