HAKEKAT BAHAGIA

Oleh: Dr. Ajang Kusmana

Hidup bahagia adalah dambaan semua manusia. Cara mendapat bahagia dan ragamnya tentu berbeda tergantung sudut pandang. Bahagia tidak ditentukan oleh tempat; Orang kota belum tentu lebih Bahagia dari orang kampung dan sebaliknya. Penduduk Eropa belum tentu telah mendapatkan kebahagiaan, dan orang Afrika belum tentu merasa sengsara, Orang kaya belum tentu telah bahagia, dan orang biasa belum tentu sedang sengsara, karena letak bahagia bukan di tempat atau di keadaan tertentu.

Bahagia itu misteri, meski semua orang dari berbagai kalangan dan kelompok menginginkan kebahagiaan, namun tidak bisa dipastikan apakah sedang dan telah bahagia. Sesuatu dipandang seperti dapat membahagiakan Ketika belum dimiliki dan belum dirasakan. Dan akan membiasa bila sudah didapat, kemudian akan kecewa bila ternyata tidak seindah yang dinginkan. Itulah kebahagiaan di dunia profan.

Kebahagiaan bukanlah dengan memiliki rumah mewah, kendaraan mewah, harta melimpah. keudukan tinggi, posisi terhormat, keturunan mulia, dan lain sebgainya. Itu semua bukan jaminan tetapi mungkin variable yang bisa mengantarkan kepada kebahagiaan ketika di sertai sikap hati merasa kaya. Kunci utama adalah di sikap batin, bukan di harta yang berlimpah atau jabatan yang wah. Dalam konteks ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ليسَ الغِنَى عن كَثْرَةِ العَرَضِ، ولَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ.
الراوي : أبو هريرة | المحدث : البخاري | المصدر : صحيح البخاري
الصفحة أو الرقم : 6446 | خلاصة حكم المحدث : [صحيح

“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari 6446)

شرح الحديث

وفي هذا الحديثِ يُبَيِّنُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم المَعنى الحَقيقيَّ لِلغِنى الواجِبِ على الإنسانِ الاجتِهادُ في تَحصيلِه، والذي يَرفَعُ دَرَجاتِه في الدُّنيا والآخِرةِ، فيُخبِرُ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنَّ الغِنَى ليس كما يَظُنُّ النَّاسُ في كَثْرةِ المالِ، ولا في كَثْرةِ العَرَضِ، وهو: كُلُّ ما يُنتَفَعُ به مِن مَتاعِ الدُّنيا مِن أيِّ شَيءٍ كان؛ لأنَّ كثيرًا ممَّن وُسِّع عليه في المالِ لا يَقنَعُ بما أُوتِيَ، فهو يَجتهَدُ في الازديادِ ولا يُبالي مِن أيْن يَأتيهِ، فكأنَّه فقيرٌ مِن شدَّةِ حِرصِه؛ ولكنَّ الغِنى الحقيقيَّ المعتبَرَ الممدوحَ غِنى النَّفْسِ بما أُوتِيَتْ وقنَاعتُها ورِضاها به، وعدَمُ حِرصِها على الازديادِ والإلحاحِ في الطَّلب؛ لأنَّها إذا استَغْنتْ كَفَّتْ عن المطامِع، فعزَّتْ وعظُمتْ وحصَل لها مِن الحُظوةِ والنَّزاهةِ والشَّرفِ والمدحِ، أكثَرُ مِن الغِنى الذي يَنالُه مَن يكونُ فَقيرَ النَّفْسِ بحِرْصِه، فإنَّه يُورِّطه في رَذائلِ الأمورِ وخَسائسِ الأفعالِ؛ لِدَناءةِ هِمَّتِه وبُخلِه، ويَكثُرُ ذامُّه مِن النَّاسِ، ويَصغُرُ قَدْرُه عندَهم، فيكون أحقَرَ مِن كلِّ حَقيرٍ، وأذَلَّ مِن كلِّ ذَليلٍ، وهو مع ذلك كأنَّه فقيرٌ مِن المال؛ لكونِه لم يَستغنِ بما أُعطِيَ فكأنَّه ليس بغَنِيٍّ، ولو لم يكُنْ في ذلك إلَّا عدمُ رِضاهُ بما قَضاهُ اللهُ، لكَفَاه.
وفي الحَديثِ: تصحيحُ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم للمفاهيمِ وتوضيحُه للمَعاني الشَّرعيَّةِ التي تنفَعُ المُسلِمَ في دينِه ودُنياه وآخِرَتِه.

Kapankah kebahagiaan akan didapatkan? Bahagia itu sikap batin, ketika bersyukur atas apa yang didapat dan membuang jauh angan-angan maka bahagia bisa dirasakan. Orang yang memiliki harta melimpah, tapi hatinya tidak merasa cukup. Mereka kurang terus sehingga terus berusaha menambah kekayaan. Tidak kenal waktu, tidak kenal tempat. Bahkan, tidak kenal halal-haram. Jika gagal, susahnya bukan kepalang. Orang yang seperti ini, meski hartanya banyak bukanlah orang kaya.

Kaya itu di hati, yaitu merasa cukup dengan pemberian Allah Azza wajalla. Kita terima semua yang ditakdirkan Allah untuk kita lalu ber-husnudzan bahwa itu yang terbaik untuk sekarang ini, jika demikian adanya, maka kita kaya dengan sebenar-benarnya. Semua itu serba titipan, jadilah pribadi yang selalu bersyukur dengan anugerah yang sudah dimiliki.

Hidup adalah waktu yang dipinjamkan. Harta adalah amanah yang dititipkan. Jabatan adalah amanah yang akan di mintai pertanggungjawaban. Bersyukur masih bisa bernafas tanpa alat bantu. Bersyukur masih memiliki keluarga. Bersyukur masih memiliki pekerjaan, dan masih tetap bersyukur masih bisa makan setiap hari. Bersyukur dan selalu bersyukur di dalam segala hal.

Seorang yang mampu mensyukuri apa yang diterima akan merasakan kebahagiaan. Mereka mensyukuri nikmat, mengakui adanya nikmat dan menyanjung Dzat yang menganugerahkannya. Syukur dibangun di atas enam prinsip pokok:

1. Mengakui adanya nikmat yang diterima
2. Berterimakasih kepada pemberi nikmat.
3. Rasa cinta terhadap Pemberi nikmat.
4. Menggunakan nikmat untuk ta’at
5. Tidak menggunakan nikmat tersebut untuk maksiat
6. Membagi nikmat kepada sesama.

Orang yang melaksanakan enam prinsip tersebut akan merasakan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, jika enam prinsip tersebut tidak dilaksanakan dengan sempurna maka akan menyebabkan kesengsaraan selamanya. (*)

Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia