Dalam bahasa arab: شورى /syura adalah sebuah kata Arab untuk “konsultasi”. Al-Qur’an dan Muhammad mendorong Muslim untuk memutuskan urusan mereka dalam konsultasi dengan orang-orang yang akan berdampak pada keputusan tersebut. Syura disebutkan sebagai kegiatan terpuji yang sering dipakai dalam mengorganisir urusan masjid, organisasi Islam, dan merupakan istilah umum yang melibatkan parlemen. Kata syura diambil dari “syaawara”, yang artinya saling memberi pendapat, saran, atau pandangan. Menurut Abu Ali al-Tabarsi syura merupakan permusyawaratan untuk mendapatkan kebenaran.
Syura (atau yang biasanya di Indonesia disebut musyawarah) adalah sebuah proses yang dilakukan oleh sebuah majelis atau perkumpulan dari sebuah organisasi ataupun masyarakat yang anggotanya dipilih untuk menentukan keputusan atas suatu hal. Sebenarnya syura sendiri bukanlah hal yang asing bagi masyarakat khususnya di Indonesia, terutama yang beragama Islam, sehingga konsep syura lebih dekat dengan tradisi politik dan sejarah Islam. Syura ataupun musyawarah telah menjadi bagian dari urusan hidup
manusia dari masa ke masa, dari urusan rumah tangga sampai urusan pemerintahan. Jadi syura telah turut mewarnai kehidupan ini dari generasi kuno hingga saat ini yang disebut sebagai generasi modern, terlepas dari persoalan haq atau bathil yang mereka bicarakan dan permasalahkan.
Secara istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan definisi syura, diantaranya adalah Ar Raghib al-Ashfahani yang mendefinisikan syura sebagai proses mengemukakan pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura [Al Mufradat fi Gharib al-Quran hlm. 207].
Ibnu al-Arabi al-Maliki mendefinisikan syura dengan berkumpul untuk meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki [Ahkam al-Quran 1/297].
Adapun definisi syura yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer diantaranya adalah proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran [Asy Syura fi Zhilli Nizhami al-Hukm al-Islami hlm. 14].
Quraish Shihab menerangkan bahwa makna syura adalah mengambil pendapat yang paling baik dengan mengumpulkan satu pendapat dengan pendapat yang lain. Segala urusan yang berkaitan dengan kepentingan kelompok selalu diputuskan dengan musyawarah sehingga tidak ada yang bersifat otoriter dan memaksakan kehendak.(Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, juz 12)
Konsep yang dibangun oleh Islam dimana oleh beberapa kalangan sering disebut mirip dengan demokrasi adalah konsep syura (musyawarah). Dalam satu penjelasan syura atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara.
Dari beberapa definisi di atas syura merujuk pada musyawarah untuk mufakat dalam mendiskusikan sesuatu hal saling berargumentasi, berdebat, mengeluarkan ide-ide karena adanya perbedaan pendapat dan kemudian pada akhirnya mencapai kesepakatan bagi semua pihak.
Islam telah memberikan petunjuk kepada umatnya untuk bermusyawarah baik itu di dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Dalam kehidupan individu, misalnya para sahabat sering meminta pendapat Rasulullah Saw dalam masalah-masalah yang bersifat pribadi, misalnya tindakan Fathimah yang meminta pendapat kepada ayahnya Nabi Muhammad Saw ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya [HR. Muslim : 1480].
Dalam kehidupan berkeluarga, hal ini telah dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 233, dimana Allah Swt telah berfirman :
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٢٣٣)
“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan“. [Al Baqarah : 233].
Imam Ibnu Katsir mengatakan, Maksud dari firman Allah (yang artinya), ” Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” adalah apabila kedua orangtua sepakat untuk menyapih sebelum bayi berumur dua tahun, dan keduanya berpendapat hal itu mengandung kemaslahatan bagi bayi, serta keduanya telah bermusyawarah dan sepakat melakukannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dengan demikian manfaat yang bisa diambil adalah tidaklah cukup apabila hal ini hanya didukung oleh salah satu orang tua tanpa persetujuan yang lain. Dan tidak boleh salah satu dari kedua orang tua memilih untuk melakukannya tanpa bermusyawarah dengan yang lain [Tafsir al-Quran al-‘Azhim 1/635].
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Allah telah memerintahkan Rasulullah Saw untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Dijelaskan dalam firman Allah Swt dalam QS. Ali Imron ayat 159 :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Di dalam ayat yang lain QS. Asy Syura ayat 38, Allah Swt telah berfirman
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.
Maksud dari firman Allah Swt (yang artinya), “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka” adalah mereka tidak melaksanakan suatu urusan sampai mereka saling bermusyawarah mengenai hal itu agar mereka saling mendukung dengan pendapat mereka seperti dalam masalah peperangan dan semisalnya [Tafsir al-Quran al-‘Azhim 7/211].
Dari keseluruhan ayat al-Quran di atas dijelaskan bahwa syura (musyawarah) disyari’atkan dalam ajaran agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura adalah sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku jabatan. Ibnu Taimiyah telah mengatakan, “Sesungguhnya Allah Swt memerintahkan nabiNya senantiasa bermusyawarah untuk mempersatukan hati para sahabatnya dan dapat ditiru oleh orang-orang setelah beliau agar mampu menggali ide mereka dalam permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan demikian, selain Rasulullah Saw tentu lebih patut untuk bermusyawarah” [As Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 126].
Dalam hadis Nabi Muhammad Saw menunjukkan betapa beliau itu sangat memperhatikan untuk selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan terutama urusan yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak.
Beliau pernah bermusyawarah dengan para sahabat pada waktu perang Badar mengenai keberangkatan menghadang pasukan kaum kafir Quraisy.
Dalam perang Uhud, beliau meminta pendapat para sahabat sebelumnya, apakah tetap tinggal di Madinah hingga menunggu kedatangan musuh ataukah menyambut mereka di luar Madinah. Sehingga mayoritas sahabat menyarankan untuk keluar Madinah menghadapi musuh dan beliau pun menyetujui usulan tersebut
Rasulullah Saw juga pernah bermusyawarah untuk menentukan lokasi berkemah dan beliau menerima pendapat al-Mundzir bin ‘Amr yang menyarankan untuk berkemah di hadapan lawan.
Dari contoh-contoh yang diteladani Rasululllah Saw, kita bisa mengambil hikmah yang luar biasa tentang bermusyawarah.
Musyawarah dalam Islam mempunyai kepentingan luar biasa untuk mengambil keputusan yang berdasarkan pada kebaikan bersama dan menghindari kekeliruan yang berpotensi merugikan umat. Ketetapan yang ditentukan dalam musyawarah bersama harus merupakan bukti dari kehendak semua peserta musyawarah atau segenap individunya, dengan syarat bahwa mereka memperoleh kebebasan sepenuhnya dalam menentang pendapat dan mendiskusikannya dalam penolakan serta mendebatkan dengan dalil kebenaran yang sesuai dengan aturan yang berlaku.
Sistem musyawarah yang dilakukan
oleh Nabi antara lain dimaksudkan untuk memberikan contoh nilai konsultasi dalam bermusyawarah agar ditiru oleh umat Islam lainnya dan untuk memperkuat peringatan kepada pemimpin Islam tentang pentingnya konsultasi. Dengan tanpa mengabaikan prinsip dari praktik yang dilakukan Nabi, kita sesungguhnya dapat mengembangkan musyawarah secara kontekstual misalnya melalui musyawarah di DPR, MPR dan sebagainya. Hal seperti ini yang dilakukan Indonesia dengan MPR atau Inggris dan Malaysia dengan Parlemennya, ini sebagaincontohnya.
Selanjutnya perlu ditegaskan di sini bahwa konsep syura/musyawarah dalam Islam sesungguhnya tidak identik dengan demokrasi. Sebab di dalam demokrasi ada nilai dasar, yaitu kebebasan (al-hurriyyah). Kebebasan itu artinya kebebasan individu untuk mengemukakan pendapat (hurriyah
al-Ta’bîr ‘an al-Ra’y) di hadapan kekuasaan negara tanpa ada tekanan. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan
keseimbangan (balancing power) antara
hak-hak individu warga negara dan hak-
hak kolektif dari masyarakat.
Prinsip-prinsip musyawarah dalam moderasi beragama diatur dengan baik dalam Islam.
Yang pertama, dalam bermusyawarah hendaknya bersikap dan berperilaku baik, seperti: tidak berperilaku keras, dengan tutur kata yang sopan dan santun, saling menghormati dan saling menghargai, serta melakukan usaha-usaha agar hasil musyawarah itu bermanfaat untuk orang banyak.
Yang kedua, setiap orang memiliki kesempatan dan hak yang sama dalam bermusyawarah, kesempatan bertanya, kesempatan mengeluarkan pendapatnya serta memberikan ide-idenya.
Yang ketiga keputusan yang dihasilkan harus bisa tercapai dengan musyawarah mufakat dan tidak ada kelompok atau perorangan yang dirugikan. Setiap keputusan harus dilaksanakan untuk semua orang tanpa kecuali.
Keempat, bahwa hasil musyawarah yang telah disepakati bersama hendaknya dilaksanakan dengan bertawakal kepada Allah Swt.
Dengan beberapa prinsip-prinsip musyawarah yang dikemukakan di atas, kita ketahui bersama betapa pentingnya musyawarah itu sendiri yang memiliki tujuan agar suatu masalah dapat dipecahkan jalan keluarnya dan sebisa mungkin tidak merugikan orang lain serta mengambil jalan yang adil dalam kerangka moderasi beragama.
Wallahu a’lam.
Bogor, 21 Juli 2021
Guru PAI SMAN 1 Cigombong Bogor