MENDIDIK DENGAN QALBU (Refleksi Diri di Tahun Ajaran Baru 2022-2023)

Herimirhan, S.Ag, Guru PAI SMP Lazuardi Haura Global Compassionate
DPW AGPAII Provinsi.Lampung

Tahun Pelajaran 2022-2023 telah dimulai dengan penuh suka cita dan riang gembira. Beberapa istilah digunakan oleh sekolah untuk menyambut dan meramaikan suasana tersebut, Freshmen Week, First Day Of School, Multiprotocol Label Switching,  Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Mungkin masih  banyak istilah lain yang digunakan dari berbagai instansi pendidikan untuk menyemarakkan suasana kembalinya peserta didik  ke lingkungan sekolah.

Hal yang paling dinantikan dan suasana membahagiakan pada saat peserta didik memulai proses pembelajaran di tahun ajaran baru, kebahagiaan tersebut dapat terpancar dari kebersamaan dengan guru dan teman-teman, suasana lingkungan sekolah, kondisi kelas yang dipenuhi dengan hiasan-hiasan dinding, papan project aksi dan kreasi siswa yang mungkin selama ini tak tersentuh karena terhalang oleh situasi Pandemi Covid 19 yang ikut andil dalam proses pembelajaran secara daring.

Sukseskan Kongres IV AGPAII dengan 1 juta quote Pancasila
klik https://linktr.ee/panitiakongres

Mengutip pendapat Ahmad bin Khadhrawaih Rahimahullah ”Hati adalah laksana bejana, jika ia telah dipenuhi oleh kebenaran, maka ia akan menampakkan banyak cahaya pada anggota tubuh lainnya, dan jika hati itu dipenuhi oleh kebatilan, maka ia akan menampakkan banyak kegelapan pada anggota tubuh lainnya”.  Argumentasi tersebut semakin komprehensif dengan adanya pendapat dari Ibnul Qayyum Al Jauzy, seorang ulama termasyhur pada zamannya, mengemukakan peran hati (Qalbu) bagi anggota tubuh manusia yang lainnya. Hati (Qalbu) adalah panglima bagi seluruh anggota tubuh manusia, sehingga segala bentuk ekspresi dan aktivitas anggota tubuh manusia yang lainnya m erupakan gambaran dari kondisi hatinya.

Pernyataan tersebut mengambarkan bahwa hati (Qalbu) memainkan peran yang sangat penting dalam mengendalikan anggota tubuh yang lainnya,  kemudian hati (Qalbu) selalu memberi pengaruh positif bagi segenap aktivitas seluruh anggota tubuh manusia, seperti mata, telingan, tangan, kaki, dsb. Sebagai wujud dari pengaruh positif itu adalah timbulnya kesadaran manusia dalam memaknai hidup, bahwa hidup itu adalah anugerah dan pemberian Tuhan.

Peran dan keterlibatan tenaga pendidik dalam menghadirkan proses pembelajaran diharapkan munculnya kesadaran bahwa mendidik merupakan panggilan jiwa berasal dari hati yang tulus untuk melayani peserta didik serta memiliki sikap Welas Asih, masyarakat berbudi luhur, berlandaskan kebajikan dan Semangat Yang Terus Menerus Pada Bidang Pendidikan.terutama pendidikan Islam sebagai pondasi dalam membentuk nilai nilai karakter (Character Building) peserta didik.

Mendidik Dengan Hati

Merujuk dari  Kamus Besar Bahasa Indonesia kata `mendidik` berasal dari kata dasar `didik`, memiliki makna memelihara dan memberi latihan (ajaran, tutunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan kata hati (Qalbu) adalah sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (seperti perasaan, dsb).

Narasi diatas sedikit berbeda dengan pendapat Musa Asyari (1992), bahwa hati (Qalbu )  Pertama, pengertian kasar atau fisik, yaitu segumpal daging yang sering disebut dengan jantung. Kedua, pengertian yang halus yang bersifat ketuhanan dan rohaniah yang dapat menangkap segala pengertian, berpengetahuan, dan arif. Dari kedua defenisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian mendidik dengan hati adalah proses transformasi nilai dan pengetahuan dengan memberikan latihan secara terus menerus dalam rangka mengasah kecerdasan spritual, emosional, dan intelektual dari peserta didik, yang tentunya berangkat dari hati yang bersih dan dedikasi yang tulus.

Siswa Student One Islamic School, Gunungsindur, Bogor sedang mengikuti MPLS (ilustrasi)

Urgensi Mendidik Dengan Hati

Kehadiran penyebaran pandemi yang berangsur kita lewati, membuat wajah pendidikan tidak seperti biasanya, sehingga ada banyak perubahan-perubahan yang harus disesuaikan dengan cepat yang itu sangat membutuhkan banyak energi, pikiran, bahkan waktu yang tersita hanya karena untuk memberikan layanan pendidikan yang bermutu dan berkualitas.

Sebagai tenaga pengajar yang dituntut untuk selalu terus berinovasi demi perkembangan pendidikan juga mulai menyesuaikan dengan apa yang dianjurkan oleh lembaga-lembaga pemerintahan baik tingkat pusat, provinsi, bahkan daerah. Tentunya dengan kebiasaan cara mengajar yang berbeda dari pada biasanya, pada kalangan pendidik ada banyak tuntutan yang itu harus dipenuhi pada setiap ketika mau melakukan kegiatan belajar mengajar. Persoalan yang muncul dikalangan tenaga pendidik, misalnya adaptasi kurikulum yang cukup lambat, kesiapan tenaga pendidik mengajar dengan daring, serta persoalan-persoalan lainnya yang barangkali itu masih belum dihimpum oleh lembaga terkait.

Mendidik siswa dimasa merupakan suatu tantangan besar seperti pembuatan Kurikulum Darurat, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang harus disedernahakan demi membuat peserta didik cepat dalam memahaminya, kegiatan belajar jarak jauh yang tidak semua peserta didik tidak dapat mempunyai akses untuk melakukan hal tersebut, sebagai tenaga pendidik tentu itu menjadi hal yang harus dikerjakan. Selain itu, memikirkan hal yang berurusan dengan administrasi juga yang paling penting bagaimana materi yang disampaikan bisa diserap oleh peserta didik dengan baik, sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengerti, memahami pada setiap proses pelajaran yang diberikan kepada pesert didik.

Namun demikian, Persoalan lain yang muncul pada saat pembelajaran dimasa pandemi baik pada tenaga pendidik maupun tenaga pengajar adalah kemampuan dalam menggunakan teknologi yang itu sebenarnya akan sangat membantu dan menunjang pada setiap pembelajaran daring atau aktifitas lainnya berlangsung.

Ketika para tenaga pendidik menyampaikan pembelajaran, ada banyak peserta didik yang tidak memperhatikan misalnya, itu merupakan suatu tantangan dan kendala dimana pembelajaran ketika dilakukan dengan jarak jauh, jangankan dalam pembelajaran jarak jauh ketika pada pembelajaran tatap muka pun seringkali peserta didik itu sulit untuk diatur untuk disuruh memperhatikan pembelajaran yang diberikan. Semua tantangan dan kendala yang dihadapi pada saat proses pembelajaran terobati dengan imun  mendidik dengan hati.

Dalam bukunya The Courage to Teach (Semangat Untuk Mengajar) (2003), Parker Palmer mengatakan menjadi guru (pendidik) bukan sekedar melakukan pekerjaan biasa, tetapi juga memenuhi panggilan hati dan melakukan perjalanan spritual. Teori tersebut sangat relevan dengan salah satu konsep dalam teologi Islam yaitu Ihsan. Ihsan dalam konteks pekerjaan, apakah dia sebagai guru Pendidikan Agama Islam ataupun berprofesi yang lainnya, pada prinsipnya agama Islam selalu menuntun umatnya agar selalu bekerja secara Ihsan.

Bekerja secara Ihsan maksudnya  bekerja yang  harus dilandasi spritual (iman) sehingga menghasilkan kualitas kerja yang baik dan indah. bekerja bukan saja persoalan duniawi semata akan tetapi memiliki kaitan sangat erat dengan persoalan Ukhrowi (Akhirat). Dengan demikian Guru Pendidikan Agama Islam berusaha memaknai setiap pekerjaan dilakukannya itu sebagai sebuah ibadah yang terus mengalir pahalanya dimana kompensasi yang diperoleh bukan materi semata melainkan juga pahala dari Allah. Bermakna ibadah artinya ketika kita mendidik atau mengajar harus diniati karena Allah, merasa diawasi oleh Allah SWT dan berharap output yang dihasilkan bermanfaat bagi kemaslahatan anak didik sehingga menjalaninya dengan penuh kesungguhan. Sebagaimana hadis rasululullah SAW “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang sholeh.” (HR Muslim).

Selain itu seorang guru Pendiidkan Agama Islam juga perlu menyadari, bahwa mendidik merupakan salah satu proses menjalankan amanah. Amanah dari Allah SWT atas ilmu yang telah diberikan-Nya kepada para guru untuk diamalkan, kemudian amanah dari para orang orang tua yang telah menitipkan anak-anak mereka untuk dididik menjadi manusia-manusia yang berilmu, berkarakter dan berakhlak mulia, dan amanah dari negara dimana guru merupakan garda terdepan dalam usaha mencapai tujuan negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga kalau dikaitkan dimana  tugas guru adalah mendidik  dan mengajar, maka mendidik dengan pendekatan hati pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada sekolah sangatlah penting. Karena hati merupakan titik sentral proses interaksi guru dan siswa, yang hasilnya dapat membawa perubahan dan kebaikan dalam kehidupan peserta didik. Hati (Qalbu) memiliki sifat selalu berubah, berpindah,  dan bolak-balik.

Dukung Petisi Pemda usulkan kebutuhan guru agama klik  https://www.change.org/DaruratGuruAgama

Sesuatu yang labil tentu tidaklah baik bagi seorang peserta didik,  dan dapat dipastikan membutuhkan bimbingan yang ekstra dari guru-guru Pendidikan Agama Islam sehingga dapat mengarahkannya pada kebaikan. Rasulullah SAW memberikan gambaran dalam  hadistnya, yang berbunyi :“Sesungguhnya pada diri manusia itu terdapat segumpal daging (hati), jika  segumpal daging (hati) jelek maka jeleklah perilakunya, sebaliknya bila ia baik maka baiklah seluruh perilakunya ”. (Al Hadist).

Selain hal tersebut di atas urgensi mendidik  dengan hati adalah guru PAI dapat memberikan contoh yang baik secara lansung kepada peserta didiknya. Proses keteladanan atau memberi contoh melalui sikap dan tingkah laku yang baik merupakan strategi yang ampuh dari sekadar mengajar di depan kelas. Semua itu berpulang pada bagaimana kita mampu mengefektifkan dan mengarahkan hati kita menjadi bersih dan suci. Karena dari hati bersih dan suci itulah akan terpancar perilaku yang bersih dan suci pula. Apabila hal ini bisa diterapkan di setiap jenjang satuan pendidikan maka bullying (kekerasan) di dunia pendidikan tidak akan terjadi.

Tanggung jawab seorang guru tidak hanya pada tataran administrasi dan kelembagaan dimana siswanya harus lulus pada suatu jenjang pendidikan sesuai standar kompetensi kelulusan,  akan tetapi lebih besar dari itu adalah tanggung jawab moral yang ia pertanggung jawabkannya dihadapan Allah. Bukankah ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang selalu mendoakan orangtuanya adalah pahala yang terus mengalir meskipun kita sudah mati. Mudah-mudahan apa yang dicita-citakan dari pendidikan kita bisa terwujud. Tentunya Kesemua itu dilandasi mendidik dengan hati nurani. Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) menjadi bagian dari Nakhoda dalam mengaungi samudera untuk pendidikan agama di Indonesia yang lebih baik, berkualitas dan rahmatan lil ‘alamin.[]

Sumber gambar :
– Featured image dari www.freepik.com
– Ilustrasi www.studentoneislamicschool.sch.id 

Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia