Herimirhan, S.Ag Guru PAI SMP Lazuardi Haura Global Compassionate
DPW AGPAII Provinsi Lampung
Telah menjadi rahasia umum bahwa tahun ini terdapat perbedaan pandangan antara pemerintah dengan salah satu ormas keagamaan di Indonesia tentang penetapan pelaksanaan hari raya Idul Adha tahun 1443H/2022M. Sebagaimana dilansir dari laman resmi Kementerian Agama (Kemenag), Kemenag telah menetapkan 1 Zulhijah 1443 Hijriyah jatuh pada Jumat, 1 Juli 2022. Dengan ditetapkannya awal Zulhijah ini, maka Hari Raya Idul Adha 1443 H jatuh pada Ahad, 10 Juli 2022. Sementara keputusan Muhammadiyah yang dikutip dari Kompas TV (29/6/2022) menetapkan 10 Zulhijah 1443 H atau Hari Raya Idul Adha 2022 jatuh pada tanggal 9 Juli 2022 yang tertuang dalam Maklumat Nomor 01/MLM/I.0/E/2022 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah 1443 H.
Sukseskan 1 juta quote Pancasila
klik https://linktr.ee/panitiakongres
Perbedaaan pendapat tersebut janganlah dijadikan permusuhan, menebar kebencian yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan umat. Perbedaan itu adalah sebuah rahmat. Rasulullah SAW mengajarkan dalam haditsnya yang berbunyi “ikhtilafu ummati rahmah,” perbedaan umatku merupakan sebuah rahmat. Jadi, sudah semestinya rahmat itu dimaknai dengan saling melengkapi (Complete Each Other), membangun dan memperbaiki.
Menelisik kembali dari fakta sejarah, momen awal turunnya perintah Allah SWT untuk berkurban pada hari Raya Idul Adha ini tidak terlepas dari kisah perjalanan dalam merealisasikan kepatuhan terhadap nilai-nilai ketuhanan nabi Ibrahim as dan putranya Ismail. Ritual dan spiritual ibadah kurban sampai saat ini masih dilaksanakan umat muslim yang mampu secara materi, sebagaimana perintah berkurban tertuang dalam firman Allah SWT pada surat Al Kautsar ayat 1-3 yang artinya “Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya, orang yang membenci kamu adalah orang yang terputus.”
Hewan kurban (www.klikdokter.com)
Perjalanan kisah ini bermula dari nazar yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim as. Sebelum memiliki putra, beliau pernah bernazar bahwa berkurban sejumlah domba, sapi, dan unta setiap tahun itu tidak ada apa-apanya, ia bahkan rela mengurbankan anaknya jika itu memang perintah Allah SWT. Setelah ia memiliki seorang putra yang bernama Ismail, Allah menagih nazar tersebut. Saat itu, usia Nabi Ibrahim sudah menginjak 86 tahun dan Ismail berusia 7 tahun (pendapat lain 13 tahun).
Tepat pada malam tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah. Nabi Ibrahim as bermimpi. Ia mendapati sebuah seruan yang berbunyi, “Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu.” Saat terbangun, ia merenungkan arti mimpinya dan bertanya-tanya apakah mimpi tersebut datang dari Allah atau dari setan. Allah SWT menegaskan Allah menurunkan firman-Nya yang berbunyi: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS Ash-Shafaat (37): 104:107)
Pelajaran berharga bukan hanya kisah dari apa yang dialami oleh nabi Ibrahim as yang diperintah untuk menyembelih putra tercintanya Ismail. Namun nilai-nilai substansial dan fundamental dari kisah tersebut yang tak akan lekang oleh perubahan zaman. Nilai pengorbanan dan keikhlasan serta ketakwaan seorang ayah dan ketaatan dan kepatuhan seorang anak dalam merealisasikan perintah Allah SWT. Penyembelihan hewan kurban yang divisualkan setiap hari raya kurban adalah bentuk ujian keimanan terhadap ketaataan pengorbanan Ibrahim Alaihissalam, yang siap melaksanakan perintah Allah SWT sekalipun harus menyerahkan apa yang paling dikasihinya. Pantaslah kalau Ibrahim Alaihissalam diberi sebutan yang amat tinggi dalam pandangan Allah SWT.
Dukung petisi Darurat Guru Agama
klik https://www.change.org/DaruratGuruAgama
Sifat-sifat yang diberikan kepada Ibrahim as tersebut di atas adalah esensi dari pengorbanan yang harus menjadi bagian utuh dari pengabdian setiap hamba Allah kepada-Nya. Pokok-pokoknya adalah menyuruh dan melakukan kebaikan, serta melarang dan menghindari keburukan, sebagaimana digambarkan dalam surah Ali ’Imran 110, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. Tugas ini memiliki implikasi. Pada saat menyuruh kepada kebaikan harus didahului oleh si penyuruh itu sendiri dalam melaksanakan kebaikan itu. Membawa ummat ke jalan yang baik, dan menghindari keburukan, berimplikasi pada evaluasi diri apakah kebaikan itu telah menjadi bagian utuh dari diri kita, dan apakah keburukan itu jauh dari lingkungan kita. Evaluasi diri adalah pengorbanan yang amat mendasar, kewajiban yang kelihatannya mudah, tetapi teramat sukar. Itulah yang kita kenal dengan ibda bi nafsik, mulai dari diri sendiri (start from yourself).
Berkorban dalam ajaran Islam adalah beribadah, juga merupakan urusan perorangan yang berdampak pada lingkungan kemanusiaan. Pengorbanan itu bisa bersifat material dan bisa non-material. Tapi dikeduanya dituntut untuk mempertimbangkan faktor transaksional. Pada tataran pengorbanan material, analisis kebutuhan lingkungan masyarakat dan ketetanggaan perlu diperhitungkan, termasuk dampak sosial dan pendidikannya. Pada tataran pengorbanan non-material, pertimbangan transaksional itu menjadi lebih kompleks lagi, karena akan menyangkut kemampuan kita dalam membaca siapa dan dalam kondisi apa orang yang kemungkinan menjadi fokus ‘pengorbanan’ kita itu. Kita harus berkorban untuk menahan perasaan ketika kita tahu ada kesalahan tetangga yang memang belum memahami substansi yang menjadi persoalannya.
“Pengorbanan” yang dimanifestasikan dengan penyembelihan hewan kurban tidak hanya sebatas ritual semata, namun nilai nilai spiritual apapun yang kita buat merupakan pengorbanan untuk menjadikan segala kiprah kita berbasis ke-ikhlasan lillahi ta’ala dan kecintaan kepada sang Maha Welasasih, Tak akan ada penyesalan karena berkorban apa pun bentuknya, kalau itu dilandasi dengan lillahi ta’ala.
Oleh sebab itu, berkaryalah, beramallah, berbuatlah karena Allah. Insya Allah pahala dunia akhirat akan mengikutinya, karena memang janji Allah SWT “Faman ya’mal mitsqaala dzarratin khairan yarah(u,) Wa man Ya’mal mitsqaala dzarratin syarran yarah(u)” Qs. Al-Zalzalah 7-8 “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” []
Featured image oleh www.klatenkab.go.id