GURU agama masih harap-harap cemas menunggu kepastian formasi pada Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2021. Pasalnya, menjelang pembukaan rekrutmen PPPK, pendidikan agama tidak tertera. Merespons ini, para guru agama berencana mengajar secara nasional akhir Maret ini. Hal itu disampaikan Ketua Umum Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) Mahnan Marbawi.
Bersamaan dengan itu, target kuota PPPK yang mencapai satu juta belum terpenuhi. Saat ini masih tercatat 568.238 formasi yang diajukan pemda ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB). Berarti, ada sekitar 431.762 formasi yang belum terisi. Kondisi seperti ini sangat disayangkan. Di balik banyaknya kuota yang kosong, tidak kurang dari 120.000 guru honorer agama (data Kemenag) yang menangis ingin mengikuti PPPK. Namun, formasi untuk mereka tidak tersedia. Mengapa pendidikan agama tidak ada di formasi PPPK?
Berdasar pemaparan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, nihilnya formasi guru agama dalam perekrutan PPPK terjadi karena Kementerian Agama (Kemenag) belum membangun formasinya. Kemenag memang punya pembaca sebanyak 9.464 formasi, hanya 0,09 persen dari kuota milik Kemendikbud. Tapi, itu diperuntukkan sisa honorer K-2 yang tidak lulus dalam rekrutmen PPPK pada Februari 2019. Itulah polemik yang terjadi di hulu.
Selain di hulu, yang terjadi di hilir pun tak kalah pelik. Guru agama dicekoki dengan beragam aplikasi administrasi. Jika guru non-agama hanya cukup dengan Dapodik dan SIM-PKB, guru agama juga harus memiliki Emis Pendis dan SIAGA. Untuk memenuhi itu semua bukan perkara mudah, harus tahapan yang serbarumit.
Ternyata ruwetnya administrasi tersebut tidak cukup sakti sebagai pusaka untuk melanggengkan guru agama mengikuti PPPK. Ini merupakan sebuah marginalisasi terhadap guru agama di tengah banyaknya formasi PPPK yang tersedia. Guru agama dianaktirikan, hanya dipandang sebelah mata.
Belum reda isu PPPK bagi guru agama, muncul polemik lain yang sedang ramai, yaitu sajian kata ” agama ” dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020−2035 yang dirilis Kemendikbud. Isi visi pendidikan Indonesia 2035 tersebut adalah membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.
Kata ”agama” diganti dengan akhlak dan budaya. Spontan, draf tersebut (meski belum final) mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Mulai ormas Islam, komisi pendidikan di warp, hingga politikus parpol.
Sebelum ramainya dua kasus di atas, agama juga menjadi perbincangan heboh dengan terbitnya SKB tiga menteri yang isinya pelarangan seragam beratribut agama bagi murid, pendidik, dan tenaga kependidikan. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah akan mengancam akan meniadakan dana bos bagi yang melanggar.
Karena kasus-kasus di atas, muncul impresi bahwa pemerintah seakan alergi dengan kata agama. Anehnya, kealergian itu tidak mendasar, apa sebab, dan faktor yang melatarbelakanginya. Menganggap agama sebagai ancaman adalah pola pikir yang sangat tidak masuk akal. Bahkan, jauh sebelum ini, Albert Einstein pernah berhenti, Ilmu tanpa agama timpang. Agama tanpa sains itu buta. “
Padahal, grand design pendidikan untuk menciptakan emas tak cukup dengan kontrol gebrakan di ranah iptek, tapi harus disokong dengan imtak. Tujuannya, menciptakan kita tidak hanya menjadi manusia ahli (ahli) yang berjiwa adigang adigung adiguna, apatis dengan kehidupan sosial, dan berjiwa koruptor. Tapi melahirkan menciptakan brilian secara intelektual dengan dibalut kearifan moral.
Individu-individu yang memiliki kematangan imtak dan keluhuran, tumbuh dari pendidikan agama yang baik. Penanaman nilai agama menjadi benteng dari terjangan arus teknologi yang bisa dibendung. Agama adalah perisai di tengah terjangan media sosial, permainan, dan aplikasi-aplikasi yang meluluhlantakkan karakter menciptakan muda. Maka, tak salah jika Haedar Nashir zona kata peniadaan agama dalam PJPN adalah inskonstitusional, melawan konstitusi. Bertentangan dengan peraturan pemerintah, UU Sisdiknas, UUD 1945, dan Pancasila.
Marginalisasi terhadap guru dan pendidikan agama setidaknya menimbulkan dua akibat, yaitu ketidakjelasan nasib guru agama dan runtuhnya generasi moral bangsa. Ketidakjelasan nasib guru agama telah tampak pada tersendatnya berbagai bantuan dan nihilnya formasi agama pada PPPK telah dipaparkan di atas. Jika ini dibiarkan, guru agama yang sebagian besar berstatus honorer tidak akan mengalami perubahan. Guru agama akan tetap menderita dengan gaji seadanya.
Sedangkan runtuhnya generasi moral akan semakin marak jika mereka tak lagi mengenal agama. Tak dapat dimungkiri, dekadensi moral remaja seperti tawuran, terlibat narkoba dan miras, terpapar seks bebas, serta pornografi berakar dari minimnya pengetahuan dan pengamalan agama. Fondasi agama yang rapuh membuat mereka mudah terhasut rayuan zaman yang cenderung apatis terhadap aspek etika.
Karena itu, nasib guru agama harus diperjuangkan dan kata ” agama ”tetap dituliskan. Guru agama memiliki kesempatan yang sama dengan guru bidang lainnya untuk mengikuti PPPK tanpa harus diawali dengan ancaman mogok mengajar. Kemenag harus lebih serius dalam nasib guru agama yang telah menjadi amanahnya. Karena ini termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan yang menyebutkan bahwa masalah pendidikan agama menjadi otoritas agama.
sumber berita: Polemik Guru dan Pendidikan Agama