Pengertian qudwah adalah panutan atau suri tauladan. Al qudwah juga berarti Al qadwah, Al qidwah, dan Al qidyah yang bermakna ‘apa-apa yang telah engkau ikuti dan engkau biasa dengannya.’ Al qudwah juga bermakna Al uswah (contoh).
Nama qudwah berasal dari bahasa arab dengan huruf awal q dan terdiri atas 6 huruf. Kata qudwah memiliki pengertian, definisi, maksud atau makna panutan, suri tauladan, contoh, teladan, bisa digunakan untuk nama bayi (nama anak), nama perusahaan, nama merek produk, nama tempat, dan lain sebagainya. Kata qudwah yang bermakna panutan, suri tauladan; contoh, teladan ini boleh kita gunakan selama arti qudwah tidak berkonotasi negatif di lingkungan tempat tinggal kita.
Kajian kitab 10 Qowaid Fii Tazkiyatun Nafs yang membahas tentang kaidah keempat yaitu, اتخاذالأسوةوالقدوة (menjadikan uswah dan qudwah). Perbedaan kedua hal tersebut yaitu terletak pada bentuknya. Seperti uswah yang memiliki arti panutan yang bersifat ilmu pengetahuan dan akhlak. Sementara qudwah memiliki arti panutan yang bersifat perbuatan. Namun, keduanya sangat berat untuk dilakukan. Sehingga yang perlu kita jadikan panutan adalah para rasul, terutama Rasulullah saw, teladan kita semua.
Tentang uswah dan qudwah tersebut difirmankan Allah swt dalam Qs. Al-Ahzab ayat 21 yang artinya “Sungguh ada dalam diri Rasulullah uswatun hasanah bagi seseorang yang mengharapkan Allah, hari akhir, dan zikir kepada Allah.”
Menurut tafsir Ibnu Katsir,
(Ibnu Katsir, jilid 6, hlm. 391) bahwa ayat ini merupakan pedoman bergaya hidup. Yang mana dengan pedoman itu seseorang dapat mengontrol diri dan selalu mengintrospeksi kesesuaian gaya hidup sehari-harinya sebagai hamba Allah yang saleh. Ayat tersebut merupakan pokok paling besar di dalam penjelasan tentang keteladanan Rasulullah saw dalam ucapan, dalam perbuatan dan dalam sikap-sikapnya. Sehingga keteladanan pada diri Rasulullah merupakan totalitas. Dan ketika kita mengikuti ajaran beliau, itu merupakan bukti cinta kepada Allah. Kita tidak dapat melakukan tazkiyatun nafs jika tidak mengikuti sunah nabi.
Keteladanan (qudwah/uswah hasanah) dijadikan sebagai metode dalam pendidikan Islam secara psikologi didasarkan akan fitrah manusia yang memiliki sifat gharizah (kecenderungan mengimitasi atau meniru orang lain).
Al quran memberikan petunjuk pada manusia kepada siapa mereka harus mengikuti dan meneladani agar mereka tidak tersesat.
Seseorang menjadi berakhlak dan berbudi pekerti baik, tidak cukup hanya dengan mengajarinya tanpa ada unsur keteladanan di dalamnya. Karena itu salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan dalam UU Sisdiknas pada pasal 4 adalah pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan. Dan ini penting sekali untuk dilaksanakan oleh kita semua.
Seorang budayawan pernah mengatakan bahwa seorang anak yang rajin membaca bukan karena disuruh membaca, tapi karena selalu melihat orang tuanya membaca. Orang tua adalah prototype yang dicontoh anak. Ini senada dengan perkataan lisanul hal afshahu min lisanil maqal (bahasa perbuatan lebih fasih daripada bahasa lisan). Perbuatan lebih mengena daripada sekedar kata-kata.
Seorang anak kecil yang belum sanggup berbicara dan memahami perintah lisan pun dapat meniru pekerjaan yang sering mereka lihat dan saksikan. Anak balita mengikuti bagaimana orang tua dan lingkungan keluarga mendidiknya. Memang ada kecenderungan manusia untuk lebih mudah meniru perilaku orang lain daripada menaati perintah lisan. Hasil tiruan yang berulang-ulang inilah, disadari atau tidak akan perlahan membentuk sikap dan karakter seseorang. Dan ini dimulai dari rumah dan keteladanan yang diberikan orang tua dan anggota keluarganya.
Melatih sikap, membentuk kepribadian dan menanamkan nilai pada seseorang dengan cara memberikan contoh atau teladan, apalagi melalui keteladanan kolektif lebih efektif dibandingkan hanya sekadar instruksi lisan, karena orang pada dasarnya tidak senang disuruh-suruh, tidak senang diatur-atur, atau merasa terlalu diawasi melalui peraturan yang ketat, bahkan terkadang muncul pengulangan-pengulangan perintah. Senada dengan sebuah pendapat yang mengatakan bahwa semakin banyak peraturan yang dibuat oleh negara, semakin menunjukkan bahwa Negara itu lemah, karena itu yang dibutuhkan bukan semata-mata aturan, tapi pembudayaan hukum.
Mendidik dan mengajari seseorang tanpa ada keteladanan di dalamnya, serupa dengan orang yang melakukan amar ma’ruf tapi dia sendiri tidak mengamalkannya. Seandainya memerintahkan orang lain berbuat kebaikan yang kita sendiri tidak amalkan tetaplah sebuah kebaikan.
Dalam QS. Ash-Shaff: 2-3 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Hal (itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” Oleh karena itu, seorang pendidik seyogyanya tidak hanya sebagai seorang pengajar yang mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi teladan atau uswah, sebagaimana juga disebutkan dalam UU Sisdiknas pada pasal 40 tentang kewajiban pendidik, yaitu salah satunya memberi teladan.
Menilik tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu dan seterusnya, maka tidak cukup hanya dengan mengajarkan peserta didik ilmu pengetahuan yang menjadikan mereka cerdas dan berilmu, tapi harus disertai keteladanan dalam mengembangkan potensinya untuk memiliki kekuatan spiritual, akhlak mulia, serta kepribadian yang baik. Memberikan contoh kebaikan untuk diteladani adalah aset bangunan pendidikan yang kokoh, karena itu disebutkan dalam hadits “Barangsiapa dalam Islam memberikan contoh kebaikan maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya” (HR. Muslim). Begitu pula dalam hadits yang lain“Barangsiapa menunjukkan kepada sebuah kebaikan maka baginya pahala seperti pahala orang yang melakukan kebaikan itu”(HR. Muslim)
Kita berharap adab dan akhlak yang baik serta nilai-nilai kejujuran menjadi teladan yang semakin tumbuh, berkembang dan dilestarikan di semua lingkungan pendidikan khususnya pendidikan formal yang saat ini lebih banyak dipercayakan untuk memikul beban pendidikan. Fungsi Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 tidak hanya kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional tentunya.
Prinsip qudwah dengan memberikan teladan kepada orang lain untuk diikuti atau bahkan diduplikasi sedekat mungkin dengan Rasulullah saw. Qudwah hasanah dari prinsip tersebut diterapkan dari level personal sampai ke level komunitas, di satuan pendidikan maupun di lingkungan masyarakat. Maka ke depannya tentu akan mencetak calon pemimpin-pemimpin yang bertanggung jawab, amanah dan berani membawa masyarakatnya menuju kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan sampai di level bernegara.
Qudwah yang menjadi karakter dalam nilai-nilai moderasi beragama ini, jika dikaitkan dengan konteks sosial kemasyarakatan, maka memberikan pemaknaan bahwa seseorang atau kelompok umat Islam dapat dikatakan moderat jika mampu menjadi pelopor atas umat yang lain dalam menjalankan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Kepeloporan ini harus terus menerus disosialisasikan dari contoh-contoh keteladanan Rasulullah saw, para sahabat, para tabi’in dan para Ulama pewaris Nabi.
Indikator qudwah(kepeloporan) dalam nilai-nilai moderasi antara lain bisa menjadi contoh/teladan di lingkungannya, mau berintrospeksi jika berbuat kesalahan atau mengevakuasi di setiap kegiatan, tidak suka menyalahkan orang lain, memulai langkah baik dari diri sendiri dan menjadi pelopor dalam kebaikan seperti menjaga kelestarian lingkungan dan alam sekitar.
Komitmen seseorang terhadap moderasi beragama akan terlihat dari sejauh mana seorang tersebut mampu menjadi qudwah (teladan atau pelopor) dalam menciptakan kehidupan damai, aman, tenteram, menghargai orang lain, yang berorientasi pada nilai-nilai keadilan. Dengan kata lain qudwah dalam sembilan nilai moderasi beragama ini memiliki ciri- ciri dapat memberikan contoh/teladan, memulai langkah baik dari diri sendiri dan menjadi pelopor dalam berbuat baik untuk kepentingan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepeloporan seseorang harus terus berjalan berkesinambungan dan berkelanjutan membawa kemaslahatan untuk umat manusia. (*)
Bogor, 27 Agustus 2021
Oleh Rakhmi Ifada, S.Ag, M.Pd.I
Guru SMAN 1 Cigombong Bogor