Santri dan Tantangan Ke Depan

Oleh Rakhmi Ifada, S.Ag., M.Pd.I.

(Guru PAI SMAN 1 CIgombong Bogor)

 
Santri bukanlah figur anak muda yang memakai sarung, kemeja atau koko dan peci di kepala yang ditarik sedikit ke belakang hingga sebagian terlihat di atas jidat. Bukanlah santri sarungan, walaupun memang kebanyakan mayoritas santri berpenampilan seperti itu. Terutama di pondok-pondok pesantren salafiah dan di pondok modern ketika melaksanakan solat wajib berjamaah.

Santri merupakan sebutan bagi orang yang menekuni ilmu agama, disamping ilmu umum. Dalam kancah nasional, santri seakan dipandang sebelah mata. Ada yang memandang sebagai kaum kolot dan tertinggal akan ilmu pengetahuan. Santri identik dengan tradisional yang hanya sibuk mengurusi urusan agama saja. Itu hanya anggapan saja sebenarnya karena santri yang sebenarnya tidak sekedar penilaian fisik semata.

Sebenarnya, sebutan santri tidak hanya kepada mereka yang sedang menimba ilmu di pondok pesantren. Santri lebih bermakna sebagai siapapun yang belajar, mengaji, mengkaji dan menuntut ilmu dengan mengikuti pemikiran seorang kyai, Ulama atau pemimpin keagamaan.

Santri, hidup dalam banyak kegiatan dan jadwal harian yang full ketat. Seperti contohnya saya sendiri sewaktu di pesantren Al Asy’ariyah, Kalibeber Wonosobo dua puluh lima tahun lalu. Setiap harinya sejak mulai bangun pagi, sebelum fajar santri bermunajat solat malam dan menghafal Alqur’an sampai subuh. Selanjutnya selepas solat subuh berjamaah setoran hafalan Alqur’an ke simbah kyai dan kemudian berlanjut kegiatan pagi antri mandi dan sarapan pagi, beribadah duha hingga waktu sekolah/kuliah tiba. Sore hari, santri disibukkan dengan berbagai kegiatan pondok, ekstra kulikuler sampai menjelang magrib. Selepas solat magrib berjamaah santri mengaji kitab tafsir Jalalain atau kitab-kitab yang lain sesuai kelasnya dan belajar wajib di malam hari. Waktu tidur relatif singkat, menu makanan sederhana dan bertempat tinggal dalam ruangan besar berisi belasan santri.

Pondok pesantren adalah tempat membangun karakter. Tempat mendapatkan banyak nilai humanis disamping ilmu agama. Juga belajar egaliter, kesamaan status, persamaan nilai setiap orang di depan Tuhan Allah Yang Maha Kuasa dan persamaan derajat antara sesama manusia. Santri terbiasa makan bersama dalam satu baki/nampan dan tidur beralaskan kasur sederhana di ruangan yang diatur tanpa memandang status derajat dan strata sosial.
 
Santri menikmati saat santai setelah mengaji (sangalu.com)
Pondok pesantren sangat kental sekali dalam pembentukan akhlak dan karakter. Didikan selama 24 jam oleh para guru, para asatiz dan doa bapak ibu kyai diyakini menjadi salah satu jawaban untuk dampak negatif dunia modern sekarang ini. Orang tua mencari tempat dan kawasan tanpa telepon selular, minim media sosial, namun kaya dengan nilai-nilai kebersamaan, nilai-nilai ibadah ubudiah dan amaliah, kerjasama yang penuh kemanusiaan, komunikasi yang intens dan pondok pesantren itulah sebagai jawabannya.

Santri dalam menjawab tantangan zaman tentu saja terus berkembang ilmu dan mengelola potensi ilmunya dengan baik. Santri sekarang dengan apa yang disebutnya santri milenial. Menurut dosen agama Universitas Airlangga (UNAIR), Ahmad Syauqi, S.Hum., M.Si., menjelaskan bahwa santri milenial adalah santri yang hidup di era milenial yang serba cepat, praktis, dan terkoneksi dengan dunia internet. Menurutnya, di era revolusi industri saat ini santri milenial harus mampu ikut andil dalam perkembangan zaman demi kemajuan pendidikan dan peradaban. Santri milenial setidaknya harus memiliki empat kemampuan utama. Di antaranya, skill manajerial, organisasi, menulis atau jurnalistik, dan berbicara atau public speaking yang baik. Bahwa santri milenial juga harus mampu memanfaatkan kemajuan revolusi industry 4.0 untuk menciptakan semangat kreatif dan inovatif dalam menyebarkan dakwah dan pendidikan.

Dengan bahan dasar ilmu agama dari para kyai yang jelas sanad ilmunya dan dibekali skill tersebut, santri milenial harus melek media untuk menularkan ilmunya dan mengajarkan islam yang berkarakteristik moderat, tasamuh (toleran), adil, seimbang antara akal dan nash Al-Qur’an Hadist, dan sesuai dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah (ASWAJA).

Sebagai santri Indonesia tentu saja harus bisa tetap mempertahankan jiwa ruh ikhlas. Meskipun sudah berada di dunia yang serba canggih, teknologi yang menyatukan dunia seperti sekarang ini janganlah dilupakan bahwa ruh dari semua amal itu adalah keikhlasan. Ikhlas dapat menjadikan hidup kita lebih mudah dan menumbuhkan jiwa tanggung jawab pada amanah yang sedang kita jalankan, perjuangkan dan kita gerakkan.

Pada saat sekarang banyak sekali santri yang berprestasi di percaturan Nasional maupun internasional. Keberhasilan santri berprestasi harusnya menjadi pemicu semangat sekaligus kebanggaan bagi para santri nusantara lainnya. Tetap optimistis menjawab tantangan zaman. Pantang menyerah untuk terus belajar dan belajar tiada henti. Karena entitas santri itu sendiri adalah orang yang belajar dan menuntut ilmu.Tidak ada kata mantan bagi kata santri, karena yang ada sekali santri melekat dalam diri santri seumur hidup bagi dirinya.

Indonesia sangatlah memerlukan peran santri untuk menerapkan pendidikan akhlak dan karakter yang mengakar. Dalam sejarah negeri ini, santri mempunyai andil yang amat besar dalam merebut kemerdekaan. Menjadi pahlawan yang gigih berjuang memerangi penjajah yang mencoba merebut tanah air Indonesia.

Para santri terdahulu sudah menerima Indonesia sebagai negara. Hadratus syaikh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU, K.H.Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dan para ulama lainnya sudah menyepakatinya. Hal ini berarti ada integrasi antara agama dan budaya. Oleh sebab itu sudah menjadi kewajiban bagi para santri untuk mengawal dan menjaga NKRI dengan bhineka tunggal ika, berbeda-beda tetap satu jua. Berbeda dari kelompok-kelompok yang menamakan diri Islam tapi justru mencoba menghancurkan Indonesia dari dalam. Menurut istilah yang populer di NU, al-muhafadhah ala al-qadim al-shalih wal akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Artinya, menjaga warisan lama yang baik dan mengambil baru yang lebih baik. Sesuai dengan ungkapan di atas, Islam di Indonesia merupakan Islam yang khas yang berbeda dengan Islam negara manapun termasuk timur tengah. Islam yang tumbuh di negara yang bukan Islam. Mempunyai banyak agama dan berdialektika dengan kebudayaan lokal. Yang terdiri dari berbagai agama, suku, etnis, ras dan antar golongan.

Tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai hari santri tentu saja merupakan perjalanan panjang untuk kemudian ditetapkan oleh pemerintah. Hari Santri memiliki sejarah yang bermula dari perlawanan terhadap penjajah, ada peran ulama dan para santri untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Santri dan pesantren tak lepas berjuang demi membela kemerdekaan Indonesia. Lantaran jasa dan perjuangannya di masa lalu, pemerintah akhirnya menetapkan Hari Santri untuk diperingati setiap tahunnya.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan peringatan Hari Santri dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015. Dalam Keppres tersebut, setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri dan ditetapkan di Masjid Istiqlal, Jakarta. Keppres tersebut diteken langsung oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 15 Oktober 2015.

Keppres ini ditetapkan dengan menimbang peran ulama dan santri saat memperjuangkan Kemerdekaan RI. Tanggal 22 Oktober sendiri dipilih sebagai bentuk pengingat akan seruan resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 oleh para santri dan ulama di berbagai penjuru daerah.

Pada saat itu, Hadratus syaikh KH Hasyim Asy’ari memimpin perumusan fatwa ‘Resolusi Jihad’ di kalangan kiai pesantren. Resolusi jihad mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan penjajah.

Meski diperingati setiap tahunnya, Hari Santri yang jatuh pada tanggal 22 Oktober tidak termasuk hari libur nasional.
“SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL”
Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia