Hiruk-pikuk tentang seragam sekolah terus mengemuka setelah SKB 3 Menteri diteken. Kondisi yang sebelumnya aman tenteram ini bergolak karena ada beberapa pokok yang dianggap membuat gaduh. Pendapat para tokoh yang hadir pada Diskusi Kelompok Terpumpun menyoal SKB 3 Menteri yang diselenggarakan DPP AGPAII cukup memberikan wawasan yang menguatkan tentang perlunya SKB tersebut ditinjau ulang bahkan direvisi, Jumat (19/02/2021).
Masyitoh Chusnan, dari PP Aisyiyah, menyatakan bahwa Aisyiyah mengapresiasi sebagian isi SKB karena terdapat 2 diktum yang menimbulkan kegaduhan, yakni diktum ketiga dan kelima. Lebih lanjut Masyitoh menjelaskan pada diktum ketiga terdapat kalimat “membebaskan” siswa untuk menggunakan atau tidak menggunakan penggunaan pakaian dengan kekhasan agama tertentu.
“Apa jadinya bila siswa Muslimah memilih untuk menggunakan pakaian yang mengumbar aurat, padahal perintah menggunakan pakaian menutup aurat dinyatakan Al Quran. Karena tercantum dalam Al Quran maka hal ini masuk dalam ranah akidah yang tidak dapat diintevensi siapapun,” demikian tegasnya.
Dikatakan lebih lanjut bahwa mengunakan pakaian sesuai ajaran agama merupakan pengamalan agama yang dijamin UUD 1945 pasal 29 ayat 1.
Masyitoh juga mengisyaratkan bahwa SKB ini mubazir karena sebelumnya sudah ada aturan serupa yakni Permendikbud no 45/2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah yang masih sangat relevan dan terbukti tidak menimbulkan kegaduhan sejak diterbitkan.
Pada diktum kelima yang menimbulkan kegaduhan adalah ancaman sanksi penghentian BOS dan bantuan pemerintah lainnya bagi sekolah pelanggar SKB. Menurutnya hal ini bertentangan dengan UUD 45 pasal 31 ayat 1 tentang kewajiban pemerintah membiayai pendidikan dasar.
Pada akhir presentasinya Masyitoh menyampaikan bahwa lembaga pemerintah sebaiknya lebih fokus mencari solusi untuk mengatasi dampak Covid-19 dari pada bertindak kontraproduktif yang membuang energi. Fokus ini juga menjadi arahan Unesco dalam mengatasi dampak Covid-19 terhadap pendidikan.
Peserta sedang mengikuti dialog terpumpun SKB 3 Menteri (dok)
Abdul Moqsith Ghozali, seorang tokoh NU menyatakan bahwa sekolah non pemerintah termasuk yang dikelola ormas Islam dan madrasah tidak terkena dampak SKB 3 Menteri. Namun demikian hal ini menjadi masalah tersendiri bagi guru PAI karena sebagian besar bertugas di sekolah negeri yang dikelola pemerintah daerah. Namun demikian Moqsith tetap mendorong agar guru PAI tetap menjalankan tugasnya dengan tetap berdakwah agar siswa/inya berpakaian sesuai perintah agama.
“Hal-hal yang menimbulkan kegaduhan (pada SKB) biarlah menjadi urusan ormas Islam melalui dialog,” demikian pungkasnya.
Sementara itu Moh. Kosim, akademisi dan pemerhati PAI, menyampaikan kekhawatirannya dengan kebebasan memilih berpakaian atau tidak berpakaian sesuai syariat. Menurutnya hal ini bertentangan dengan proses pendidikan.
“Selain terdapat pada rumusan kompetensi dasar (KD) pelajaran PAI, berpakaian sesuai syariat juga merupakan bagian dari proses pendidikan untuk mencapai akhlak mulia,” demikian tegas Kosim.
Kaitan dengan poin moderasi beragama sebagai salah satu poin pertimbangan dikeluarkannya SKB, Kosim juga menilainya tidak tepat. Moderasi beragama berkaitan dengan pemikiran yakni tidak terlalu ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. Jadi, hal ini terlalu dipaksakan dan mengesankan cara berpakaian menunjukkan seseorang ekstrim atau tidak ekstrim. Ini salah besar, demikian pungkasnya.
Di sisi lain Kosim mengkhawatirkan adanya upaya sekularisasi Indonesia melalui peraturan-peraturan yang menjauhkan pengamalan agama oleh para pemeluknya, khususnya umat Islam.
Tampil pada kesempatan terakhir, Amirsyah Tambunan, Sekjen MUI, menyoroti posisi SKB pada struktur perundangan di Indonesia. Menurutnya SKB tidak tedapat pada struktur perundangan. Dikatakannya, sanksi bagi sekolah yang melanggar SKB (diktum kelima) tidak dapat dilakukan karena posisi SKB dalam struktur perundangan yang bermasalah.
“Karena posisinya yang tidak jelas, maka dengan adanya sanksi (SKB ini) sudah melampaui kewenangannya,” demikian tegas Amirsyah.
Namun demikian MUI mengapresiasi SKB ini karena mengakui kekhasan pakaian umat beragama, namun di sisi lain SKB ini berisi anomali.
Di akhir paparan Amirsyah menegaskan, bahwa berpakaian menutup aurat (berjilbab) merupakan bagian dari proses pendidikan oleh karenanya SKB perlu direvisi.
—
Diskusi daring yang berlangsung mulai pukul 13.00 ini diikuti sekitar 400an partisipan sebagian besar guru PAI. Sayang sekali terdapat dua narasumber yang berhalangan hadir yakni Ace Hasan Syadzili (Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI) dan Abdul Mu’thi (Muhammadiyah).
Secara umum para narasumber sepakat agar SKB 3 Menteri tentang Seragam Sekolah segera direvisi. Namun demikian perwakilan NU menyatakan bahwa secara mandiri NU belum punya sikap dan terus mengupayakan dialog dengan pemerintah untuk mencari titik temu permasalahan SKB ini. (aar)