Seri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke 39 Memaknai Sila Ketiga “Persatuan Indonesia” Tribalisme

“Mengindonesia, adalah bergerak sebuah laku sejarah yang akan terus berjalan tanpa henti. Laku sejarah yang tak pernah selesai ”.

Sebut saja “Mang Ro” dan “Mang Re”. Mereka berteman akrab. Mereka sering “nongkrong” bareng di warung kopi berlangganan mereka. Betah berjam-jam jika sudah ngobrol, dan bergelas-gelas kopi, habis diteguk. Ditemani goreng pisang, ba’wan dan kudapan lainnya, bersemayam tenang di “daerah tengah” yang mampu menghubungkan segala. Termasuk gunung dan laut seisinya. Asal punya hasrat serakah. Cuma tentu bukan tipikal “daerah tengah” Mang Ro dan Mang Re yang orang biasa. Bayar, pemilik warung masih bisa kompromi. Toh pengemplang pajak pun dapat ampunan. Hukuman para koruptor saja, bisa dikurangi. Ngutang dulu!

Persahabatan mereka telah bertahun-tahun lamanya. Berbagai isu dan peristiwa nasional dan internasional dari televisi -tv, model lawas, yang nempel di dinding warung kopi, mereka komentari bersama dengan “santuy” dan nada “guyon”. Ala orang pinggiran. Tak politis, tak akademis apalagi sok pinter dengan analisis yang jelimet. Tak ada tontonan seperti sandiwara talk show di tv-tv. Hanya tawa bersama dan decak prihatin atau umpatan yang keluar dari ekspresi mereka. Sesuai berita yang mereka tonton bersama. Apalagi jika nonton pertandingan sepak bola. Teriakan tujuan adalah simbol kepuasan dan pelepasan dari himpitan masalah. Kebersamaan alami di warung kopi terasa.

Namun ketika ada peristiwa politik, muncul dan menyeruak diantara mereka. Apalagi ketika masa perhelatan pemilihan presiden (pilpres) atau pemilihan kepala daerah (pilkada). Mereka berdua dan pelanggan warung kopi lainnya tak jarang terbelah, menjadi dua kelompok berseberangan. Dan untuk menguatkan atmosfir persaingan bahkan menjurus permusuhan, mereka ikut-ikutian memberi julukan tak pantas kepada masing-masing kelompok. Kucluk dan Kentir atau diksi negatif lainnya menjadi penanda perseteruan. Maaf istilahnya sangat Jawa Centris. Hal itu lebih karena ketidaktahuan penulis dengan istilah di luar budaya Jawa. Pembaca boleh nambah sendiri sesuai selera dan budaya pembaca. Yang tidak penting digunakan dalam interaksi sosial kita.

Diksi “kucluk” dan “kentir” atau diksi negatif lainnya adalah komunitas merek yang disematkan oleh lawannya. Komunitas merek ini juga sering disebut oleh Taute dan Sierra dengan suku merek, yaitu komunitas yang terbentuk bukan atas kumpulan informasi. Namun lebih berdasarkan hubungan sosial yang terstruktur karena pandangan, penggemar, penggemar, paham, agama, guru, atau kelompok tertentu. Fans klub sepakbola, fans Sahrini, fans (pencinta) habib pun, fans sepeda ontel, partai politik, organisasi kemasyarakatan, paguyuban atau lainnya bisa masuk kelompok brand suku.

Mang Ro dan Mang Re, termasuk kita, mengidentifikasikan diri -meleburkan diri mereka kedalam suku merek, yang didukung mereka. Bisa jadi Tulang Bo, Bibi Lu, Mpo Tuki, Kang Ben, uda dan uni, dan lainnya, dari latar belakang sosio ekonomi agama yang beragam, terhubung atas ikatan emosional. Mereka kemudian membentuk jaringan antar individu yang heterogen. Suku merek ini melahirkan loyalitas, kadang meningkat menjadi fanatisme buta.

Tidak hanya itu, Mang Ro dan Mang Re dengan kelompoknya masing-masing, mengatur diri sendiri dengan ikatan yang begitu kuat dan dibentuk secara sosial, psikologis dan politik. Kelompok (suku) yang mengikuti Mang Ro atau Mang Re ini, tak seperti paguyuban warga, kumpulan kongkong penikmat kopi atau paguyuban senam sehat jasmani atau paguyuban arisan ibu-ibu kompleks perumahan atau paguyuban warga perantauan atau paguyuban ini-itu lainnya. Suku yang diikuti Mang Ro atau Mang Re ini memiliki kepentingan politik, loyalitas yang fanatis, membentuk kesatuan kuat. Sekuat “iman”. Suku Fanatisme yang menumpulkan akal sehat. Yang tak masuk dalam tribenya, musuh. Namun kelompok, suku, yang diikuti muncul pada saat tertentu saja. Beda dengan paguyuban yang langgeng. Sesuai selera anggota.

Kesamaan pilihan tersebut membentuk ikatan emosional diantara para pendukung diksi “kucluk” dan “kentir”. Ikatan emosional yang melahirkan tersegmentasi yang mengikat anggotanya / pendukungnya. Masing-masing pengikut diksi “kucluk” atau “kentir” mengorganisir diri dalam sebuah organisasi terstruktur sebagai sebuah struktur sosial. Struktur sosial yang didasari paham paham, pikiran, tujuan, ikatan yang menyatukan anggota satu suku, melahirkan kemampuan membangun harmoni dan hidup Bersama. Mang Ro atau Mang Re pun akhirnya terjebak dalam sebuah militansi suku yang melahirkan laku memusihi orang / kelompok yang berbeda dan paranoid ancaman terhadap kelompok atau tokohnya. Inilah yang disebut Sierra, watak sebuah tribalisme, pertahanan suku.

Suku loyalitas yang diikuti oleh Mang Ro dan Mang Re serta pengikut lainnya, dibangun oleh kelompom-kelompok elit di luar jangkauan Mang Ro dan Mang Re. Mereka sendiri tak tahu siapa elit politik itu. Kadang-kadang hanya nama saja yang melintas di menjalankan teks televisi yang mereka tonton di warung kopi. Mang Ro dan Mang pikir nama di running teks itu mungkin elit yang diikuti oleh mereka masing-masing.

Nama yang muncul dan diduga elit itu sebenarnya memanfaatkan simbol-simbol sederhana yang bersifat lokal. Dekat dengan pengikut keseharian atau lawannya. Diksi “kucluk” atau “kadrun” adalah simbol lokal yang digunakan sebagai alat komunikasi kelompok atau lawan. Cova, penulis kesukuan masyarakat dan dampaknya terhadap pelaksanaan pemasaran, merujuk pengertian lokal untuk simbol sederhana yang bersifat lokal.

Tak hanya itu, kelompok elit juga kadang menggunakan isu agama atau religiusitas bentuk dengan syncretisme dan diproduksi dalam hoax, ujaran kebencian, sikap intimidatif, nasionalisme atau lainnya. Tribalisme yang telah dibangun ini kemudian melahirkan kelompok narcissisme atau kolektif narcissime untuk membangun citra positif kelompoknya. Dan secara bersamaan membangun citra lawan kelompok lawan.

Tribalisme yang seperti ini yang akan mengancam ketiga sila ketiga “Persatuan Indonesia”. Tribalisme menjadikan tak bertautnya hati yang berbeda. Tribalisme negatif melahirkan kepentingan kelompok dan fanatisme kelompok yang menganggap layak tribenya untuk diperjuangkan. Tribalisme yang seperti ini akan menggerogoti negara bangsa, nation state. Negara kepentingan yang menuntut semua warga negara bertaut hati dan mendahulukan negara dan masayarakat. Mereduksi kepentingan pribadi dan kelompok.

Indonesia juga memiliki suku-suku (suku) yang beraneka ragam. Justru itu menjadi kekuatan dan kekayaan Indonesia. Suku Manakala (keanekaragaman suku, budaya, agama) yang menjadi lanskap alamiah Indonesia tersebut dikelola dengan baik sebagai bagian dari ke-Indonesiaan. Suku yang tidak menjadi identitas politik dan memperjuangkan kepentingan pribadi / kelompok. Indonesia adalah persatuan suku yang berprinsip pada Bhineka Tungga Ika. Harusnya kita sudah selesai dengan tribalisme, untuk Satu Indonesia. Suku yang menguatkan ke-Indonesiaan. Bukan suku yang merongrong ke-Indonesiaan.

Atau bisa jadi memang benar bahwa Indonesia belum selesai dengan Keindonesiaannya. “Mengindonesia, adalah bergerak sebuah laku sejarah yang akan terus berjalan tanpa henti. Laku sejarah yang tak pernah selesai ”. Kita, salah satu yang menentukan laku sejarah tersebut. Salam, Kang Marbawi.

Sumber berita:  https://pasundan.jabarekspres.com/2021/03/27/seri-belajar-ringan-filsafat-pancasila-ke-39-memaknai-sila-ketiga-persatuan-indonesia-tribalisme/

Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia