Seri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke 40 Memaknai sila ketiga “Persatuan Indonesia”

“Apa arti Indonesia bagimu?”

Tak ada yang menarik dari Hywel Coleman. Mereka sama dengan kebanyakan “bule” lain. Maaf tak bermaksud rasial untuk menyebut warga negara asing (WNA) yang ada di Indonesia. Hywel datang atas prakarsa VSO, Voluntary Service Overseas, Inggris, tahun 1972. Awalnya Hywel datang unutk menjadi sukarelawan/voluntir mengajar Bahasa Inggris kepada dokter dan perawat di Bengkulu, Lombok, Aceh hingga Bangkinang dan banyak daerah lain di Indonesia. Hywel jatuh cinta kepada Indonesia pada pandangan pertama. Dia tak melupakan Inggris, namun dia rela melepaskan diri dari ikatan kewargaan dengan negeri Sri Ratu Elizabeth Alexandra Mary. Sejak saat itu, Hywel mengabdi untuk Indonesia.

“Izinkan saya menjadi orang Indonesia. Saya datang ke Indonesia bukan karena mencari untung, tapi karena memang dasar cinta,” kata Hywel Coleman.

Jauh sebelum Hywel, Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand Von Magnis- alias Romo Magnis, datang ke Indonesia tahun 1961. Pria kelahiran Eckersdorf, Silesia, Polandia tahun 1936 ini, datang untuk belajar Filsafat dan Teologi di Yogyakarta. Sama dengan Hywel Coleman, Romo Magnis jatuh cinta kepada Indonesia, pada pandangan pertama. Filsafat Jawa menjadi salah satu tanda kecintaannya. Suseno adalah nama yang disematkan untuk mempertebal ke-Indonesiaannya.

“Kita bisa keluar dengan menang dari pandemi ini, kalau kita digerakkan oleh semangat yang sama menggerakkan yang mulai dengan kebangkitan nasional. Yaitu kita harus maju Bersama, kita harus saling menerima, kita harus gotong royong,” kata Romo Magnis.

Lain lagi Andre Graff pemuda asal Perancis yang datang ke Indonesia tahun 2005. Bagi Andre Graff atau Andre Sumur, cinta Indonesia adalah kerelaan membantu warga Kampung Adar Ledetadu, Sumba Barat, untuk membuat puluhan sumur bagi warga yang kesulitan air bersih. Tentu dengan biaya Andre sumur sendiri. Cinta Indonesia bagi Gavin Edward Birch asal New Zealand adalah kerelaan menjaga kebersihan Pantai Sengingi dan mengabdikan diri untuk menjaga Pantai Sengingi hingga akhir hayat. Gavin yang kemudian berganti nama Husin Abdullah menginjak Indonesia tahun 1984. Dan sejak saat itu, Husin mengabdi untuk Indonesia dengan menjaga Pantai Sengingi bersih dari sampah.

Bagi Hywel, Romo Magnis, Andre Sumur, Husin Abdullah, juga “bule-bule” lain yang mencintai Indonesia, nasionalisme bukan hanya didasarkan atas jalinan identitas budaya, warna kulit, tanah kelahiran atau kesamaan sejarah dan nenek moyang. Nasionalisme bukan ideologi kebangsaan yang merasa superior atas bangsa lain.  Nasionalisme bukan ideologi seperti Nazi-isme Jerman atau Fasisme Stalin yang menyatakan bangsanya lebih hebat (superior) dari pada bangsa lain. Bukan nasionalisme sempit, kata Soekarno.

Indonesia bukan tanah kelahiran Hywel Coleman, Romo Magnis, Andree Graff, Husein Abdullah dan lainnya. Tapi mereka mencintai Indonesia dengan cara mereka masing-masing.  Mereka rela berkhidmah untuk Indonesia tanpa pamrih. Mereka jatuh cinta kepada Indonesia pada pandangan pertama. Seperti lirik lagu dangdut “Pandangan Pertama” yang dibawakan A.Rafiq tahun 1978 an.

Sama dengan Romo Magnis dan “bule” lain yang mencintai dan menjadi Warga Negara Indonesia, Ahlam Mustaghnimi, perempuan Tunis ini, mencintai Aljazair. Cinta yang direpresentasikan dengan puisi-puisi untuk menggelorakan perlawanan rakyat Aljazair terhadap kolonial Perancis. Puisinya berjudul Min Ajli Huwiyyah menjadi penanda semangat nasionalisme anti penjajahan. Melalui puisinya, Ahlam menyeru rakyat Aljazair untuk belajar mencintai bangsanya sendiri dan berhenti bergantung kepada Perancis. Mereka merepresentasi cintanya dengan nyata.

Tak usah ditanya soal kecintaan rakyat Indonesia kepada tanah airnya. Ratusan ribu nyawa dan harta dikorbankan untuk Indonesia, ketika perjuangan melawan kolonial. Rakyat berjuang dengan caranya masing-masing. Dari dulu hingga sekarang. Sebut saja salah satunya, Ma’ing. Ma’ing alias Ismail Marzuki banyak menggubah lagu nasional yang memiliki aura spiritual. Lagu yang digubahnya adalah hasil perenungan yang dalam dan kecintaan terhadap Indonesia. Ya, lebih dari 100 an lagu yang digubah Ma’ing menjadi melegenda dan tak pernah lekang oleh waktu.

(1)Indonesia tanah air beta
pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
tetap di puja puja bangsa

Di sana tempat lahir beta
dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
tempat akhir menutup mata


(2) Sungguh indah tanah air beta
tiada bandingnya di dunia
Karya indah Tuhan Maha Kuasa
bagi bangsa yang memujanya

Indonesia ibu pertiwi
kau kupuja kau kukasihi
Tenagaku bahkan pun jiwaku
kepadamu rela kuberi

Ya Ma’ing, menggubah lagu “Indonesia Pusaka” sebagai sebuah penanda dan sekaligus pengingat. Indonesia jaya adalah tujuan bersama sebagai warga negara. Keharuman nama Indonesia ditentukan oleh kita, penulis, pembaca, guru, pejabat, grabber, gojekker,  eksekutif perusahaan, dan segenap warga. Keindonesiaan kita ditentukan oleh kerelaan kita untuk berkorban demi kebersamaan, demi Indonesia. Kerelaan untuk menghidupkan, mengembangkan sikap bergotong royong. Bukan merusak Indonesia dengan sikap tribalisme, koruptif, kesewenangan, keserakahan dan segala tindak manipulatif yang mencederai kemanusiaan. Mencintai Indonesia seharusnya seperti mencintai gadis cantik,hingga mabuk kepayang, lupa segalanya. Seperti gubahan Ma’ing “Panon Hideung” yang terinspirasi dari sebuah lagu Rusia ciptaan R. Karsov.

Indonesia adalah “pusaka abadi”, memupuk nasionalisme untuk melawan tribal society atau hirarki kelompok yang mapan. Tribal society sering kali muncul dan mengalahkan kecintaan kepada Indonesia manakala gelaran pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilihan presiden (pilpres).  Tribal society semakin kuat ketika menggunakan kesukuan primitif dengan politisasi agama, sara, dan produksi hoaxs serta ujaran kebencian.

Ada banyak Ma’ing-Ma’ing lain dari dahulu hingga sekarang. Romo Mangun Wijaya, Gus Dur, Buya Syafii Ma’arif adalah contoh manusia Indonesia yang rela berkorban untuk lingkungannya tanpa pamrih. Yang mencintai Indonesia dengan caranya masing-masing. Seperti Mang Datim, salah seorang tukang kayu yang mencintai Indonesia dengan caranya. Membantu warga sekitar untuk sekedar membantu memperbaiki rumah-rumah tetangga yang rusak. Tanpa pamrih, gotong royong.

Dalam sebuah obrolan ringan dengan Mang Datim, terungkap pertanyaan “apa arti Indonesia bagimu?”. Tentu disampaikan dengan cara sederhana dan tak akademis, apalagi politis. Pertanyaan yang menohok kita. Pertanyaan yang tak pernah terpikirkan oleh kebanyakan orang.

Sering kali kita berkutat dengan pertanyaan untuk kepentingan diri sendiri. “Dapat apa saya?”. “Bagaimana saya bisa lebih maju, kaya, naik jabatan, berkuasa?”. Dan sederet pertanyaan lain yang kadang melahirkan aksis-aksis kolaboratif berbalut keserakahan dan manipulatif. Aksi yang mabuk kepayang, menghalalkan segala cara.

Pertanyaan “apa arti Indonesia bagimu? adalah pertanyaan yang akan menguatkan nasionalisme dan ke-Indonesiaan kita. Pertanyaan yang menguatkan sila ke 3 “Persatuan Indonesia”. Itupun jika diresapi dengan hati dan kejernihan pikiran.

Jadi apa arti Indonesia untuk pembaca? Pertanyaan yang tak memiliki jawaban pasti, namun menohok. Pertanyaan yang bisa dijawab dengan nurani kita dalam perenungan.(*)

Salam, Kang Marbawi (030421).

Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia