“Ketika urusan pribadi, urusan swasta, urusan swasta, dunia sedang terbalik. Tontonan menjadi tuntunan. Tuntunan menjadi tontonan ”. Kehidupan seolah hanya di dunia maya, dunia youtuber, vlogger, dunia instagramer, whatsapp. Mana “KITA” yang tulus menghidupi sesama dan alam? ***
Kalpa adalah penjelmaan proses kehidupan yang terbentuk dalam periode yang sangat lama. Kalpa juga diartikan keinginan untuk mewujudkan proses kehidupan yang lebih baik. Proses kehidupan tersebut mewujud dalm pohon atau “Taru”. Diambil dari mitologi Hindu, Kalpataru, pohon kehidupan yang ada di kahyangan Dewa Indra, yang memiliki lima jenis pohon suci (Pancawreksa). Terdiri atas Mandara, Parijata, Samtana, Kalpawrksa atau Kalpataru, dan Haricandana.
Dalam pewayangan, Kalpataru menjadi “gunungan” sebagai “kayon” yang menggambarkan kehidupan di alam fana. “Gunungan” tersebut melambangkan sumber hidup dan penghidupan atau pohon kehidupan atau Kalpataru. “Gunungan” diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1443 Saka sebagai media dakwah.
Soeharto, sang Legenda Indonesia, terinspirasi dari mitologi pewayangan dengan pohon Kalpataru “pegunungan”. Sang Jenderal Besar ini memberikan penghargaan Kalpataru kepada orang-orang yang jauh dari hiruk pikuk publikasi dan vanity (rasa kesombongan). Penghargaan yang diberikan sesuai dengan filosofi “pohon kehidupan”, Kalpataru. Yang berproses sangat lama dalam periode naik dan pemeliharaan. Namun memiliki makna proses penghancuran dunia. Jika tak merawatnya. Indonesia sedang merasakannya.
Soeharto mengganjar orang-orang yang tanpa pamrih, tak instan, tak lekang oleh waktu, tak mundur oleh cobaan, tegar seperti karang dalam memperjuangkan kehidupan. Ya sejak tahun 1980, Sang Legenda menghargai para pecinta Indonesia yang tulus dengan ketulusan Kalpataru. Tentu hingga lengsernya. Beberapa tahun terakhir hal itu diteruskan oleh Kick Andy Hereos dan lainnya.
Selama 40 tahun, Penghargaan dari Sang Legend telah diterima 388 orang. Baik individu maupun kelompok. 114 untuk katagori Perintis Lingkungan, 116 penerima katagori Penyelamat Lingkungan, 99 nama untuk katagori Penyalamat Lingkungan dan 59 nama untuk katagori Pembina Lingkungan.
Sebut saja Ma Eroh asal Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia merupakan perempuan pertama penerima Kalpataru katagori Perintis Lingkungan. Sejak tahun 1985, Ma Eroh seorang diri berjuang membangun saluran udara sepanjang 5 kilometer untuk menyelamatkan pasokan air bagi 60 hektar persawahan di tiga desa. 47 hari Ma Eroh memapras bukit cadas liat
dengan kecuraman 60-90 derajat hanya bermodal balencong dan tali areuy, sejenis akar-akaran yang merambat, untuk pegangan.
Sendiri, bro! Ma Eroh lakukan itu sendiri! dengan alat seadanya! Perempuan, sudah tua lagi! Tak mengeluh! Tak dibayar! Dan apa yang dikerjakannya membuat malu para lelaki di kampungnya! (Juga kita!) 19 orang lelaki dikampungnya akhirnya membantu. Dan setelah 2,5 tahun delapan bukit cadas itu berhasil ditaklukkan “GOTONG ROYONG” Ma Eroh dan 19 lelaki di kampungnya. Warga tiga desa menikmati! Ma Eroh dan 19 lelaki, hanya tersenyum bahagia. Tak ada bayaran! Tak ada tepuk tangan!
Ma Eroh atau Mbah Sadiman yang telah menanam 11 ribu pohon dilahan seluas 100 hentar di Bukit Gendol dan Bukit Ampyangan Wonogiri. Atau 386 orang hebat lainnya yang diganjar Kalpataru. Tak dikenal orang! Tak punya pengikut, tak punya Instagram, tak punya channel youtube sendiri.
Ah! Saat ini, kata Kalpataru tak menarik. Mungkin anak Millenial tak kenal Kalpataru. Mereka juga tak kenal Ma Eroh atau Mbah Sadiman. Pasti mereka lebih kenal Raffi Ahmad, Baim Bosque, Atta Halilintar atau influencer (youtuber, Instagramer dan lainnya dalam dan luar negeri) yang ngejreng. Dengan puluhan juta followernya.
Hanya dengan pamer apa yang mereka kerjakan, pakaian, jalan-jalan ke luar negeri, acara makan-makan dan seabrek aktivitas harian mereka. Dari aktivitasnya yang diupload di media sosial tersebut, mereka dapat prestise! Mereka dapat kesohoran! Menguatkan image hedonis! Dan dapat duit banyak! Instan! Siapa yang tak kepincut.
Buat apa sekolah tinggi-tinggi, kalau cari duit bisa dengan cara mudah. Tak melanggar pula. Cukup jadi youtuber dan followernya banyak. Duit datang sendiri.
Modalnya gampang. Cari konten menarik, up load di youtube. Jika perlu pake adagium: “Derita loeh, konten gue! Apapun aktivitasnya, jadi konten!”.
Ruang private, menjadi ruang publik. Ruang private yang menjadi ajang pamer, vanity. Ruang yang nir rasa, dan menabalkan sikap hedonism.Sekaligus menjadi “mimpi” disiang bolong masyarakat bawah. Ruang private yang menjadi komodifikasi untuk ditukar koin dan tenar. Ketenaran yang melahirkan dahaga hedonism matrialisme.
Ya, percis seperti yang dikatakan Andre Wilde -diperankan oleh Anderson, dalam film Feedback, ”Ketenaran adalah monster yang lapar”.
Menjual ruang private di ruang publik menjadi komoditi pemburu ketenaran.
Entah bagaimana caranya. Nyai Eroh dan Mbah Sadiman pasti tak mengerti. Sebab mereka bekerja bukan untuk diganjar untung, materi dan kesohoram. Mereka bekerja untuk kehidupan. Tak pamrih, tak bermaksud tenar atau dapat materi.
“Saya tak pernah berpikir untuk bisa memetik hasil kerja saya ini. Bahkan ketika nanti saya sudah tiada, saya juga tak ingin diperlakukan berlebihan. Saya hanya ingin berbuat kebaikan bagi sesama selama saya masih bisa. Saya pasti senang kalau didukung, tapi sebenarnya asal tidak diganggu saja, saya sudah cukup senang meskipun itu masih juga sering terjadi,” kata Mbah Sadiman yang tinggal di rumah seluas 9×6 meter beralas tanah.
Sila ke 3 Persatuan Indonesia, membutuhkan orang-orang yang tulus, peka serta rela berkorban untuk sesama dan lingkungannya dengan cara yang sederhana. Rela tanpa pamrih.
Bukan orang yang menyengaja memprivatkan urusan publik untuk kepentingan politik / golongan. Atau mempublikkan urusan pribadi untuk kepentingan pribadi dan ratting.Tak kreatif.
Itu melukai nurani. Mencederai sila ke 3, Persatuan Indonesia. Percis seperti terlukanya hati ketika, Pancasila tak masuk dalam Peraturan Pemerintah no 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Warga Indonesia hanya akan menjadi pemburu rente dan ketenaran ketika Pancasila menjadi baru moral mereka. Salam Kang Marbawi (170421)