Sikap Tawassuth Dalam Laku Keseharian

Nilai-nilai Islam yang pertama dalam moderasi beragama yaitu At-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan.
Ada yang mengartikan tawassuth adalah sikap tengah-tengah atau sedang di antara dua sikap, tidak terlalu keras (fundamentalis) dan terlalu bebas (liberalisme). Dengan sikap inilah Islam bisa di terima di segala lapisan masyarakat. Tawassuth lebih dikenal sekarang ini dengan istilah “moderasi”.
Ini disarikan dari firman Allah Swt :

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً

“Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian”. (QS . Al Baqarah/2:143).

Tawassuth merupakan sikap seseorang yang moderat atau berada di tengah-tengah, tidak terlalu bebas juga tidak keras dalam berprinsip, sehingga sikap ini yang mudah diterima oleh seluruh lapisan yang ada pada masyarakat. Sikap tawassuth ini sangat mudah diterima oleh lapisan masyarakat karena berada di tengah-tengah atau moderat, bijak dalam bersikap dan santun dalam berbicara.
Bagaimana kita menerapkan sikap tawassuth dalam keseharian kita?
Kita ketahui bersama bahwa keberagaman bangsa Indonesia menjadikan penduduknya berbeda suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) sehingga memunculkan sikap yang berbeda-beda dalam menanggapi sesuatu hal atau permasalahan.
Misalnya ketika kita dalam beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing dengan aman, nyaman, tenang dan tidak saling mengganggu. Tentu saja kita menjalankan ibadah dengan penuh keimanan dan ketaatan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan keyakinan masing-masing sebagaimana nilai-nilai tawassuth.

Dan ini artinya  linier dengan tujuan akhir pendidikan Nasional yang menjadikan peserta didik beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa pada fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional yang terdapat dalam pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Tawasuth jalan menuju harmoni kehidupan berbangsa

Dalam buku Moderasi Islam Nusantara oleh H. Mohamad Hasan, M.Ag., ada lima alasan mengapa bersikap tawassuth itu dianjurkan dan harus ada pada diri seorang Muslim?
Yang pertama, sikap tawassuth dianggap sebagai jalan tengah dalam memecahkan masalah, maka seorang Muslim senantiasa memandang tawassuth sebagai sikap yang paling adil dan bijak dalam memahami agama.


Kedua, bahwa hakikat ajaran Islam adalah kasih sayang, maka seorang Muslim yang bersikap tawassuth senantiasa mendahulukan perdamaian, cinta kasih dan menghindari pertikaian.

Ketiga, pemeluk agama lain juga mahluk ciptaan Allah yang harus dihargai dan dihormati, maka seorang Muslim yang bersikap tawassuth senantiasa memandang dan memperlakukan mereka secara adil dan setara.
Keempat, ajaran Islam mendorong agar demokrasi dijadikan alternatif dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, maka Muslim yang bersikap tawassuth selalu mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.

Dan yang ke lima, Islam melarang tindakan diskriminasi terhadap individu atau kelompok. Maka sudah sepatutnya seorang Muslim yang bersikap tawassuth senantiasa menjunjung tinggi kesetaraan.

Dari kelima alasan tersebut di atas, kita seyogyanya sudah memahami arti pentingnya sikap tawassuth dalam kehidupan sehari-hari.

Tawassuth (sikap tengah-tengah) sangat tepat diterapkan dalam kehidupan sosial antar sesama manusia di lingkungan bermasyarakat dan bersosialisasi dalam lingkup pendidikan. Terlebih di masa sekarang era  yang penuh dengan problematika intoleransi dan diskriminasi antar umat beragama.
Berikut dicontohkan bagaimana  bersikap tawassuth dalam kehidupan sehari-hari yang terjadi di masyarakat, seperti tidak membeda-bedakan suku dan golongan dalam berinteraksi sosial  dan berkomunikasi. Ketika berkumpul sekelompok orang yang berbeda suku terjadi perbincangan serius di antara mereka, karena berbeda suku seyogyanya perbincangan dengan bahasa Indonesia bukan dengan bahasa daerah. Karena jika terjadi dengan berbahasa daerah sesuai sukunya masing-masing tentu saja berkelompok dengan kesukuannya, misalnya sesama suku Jawa, Sunda atau Minang, dll. Akan terjadi kesenjangan komunikasi pada akhirnya. Manusia sama di mata Tuhan dan kita harus berprasangka positif terhadap sesama dan mengutamakan ukhuwah/persaudaraan.

Kemudian dalam menjalin silaturahmi antar sesama manusia harus terus ditumbuhkan dengan bahasa yang sejuk dalam komunikasi agar tidak timbul pertikaian dan menghadirkan nilai-nilai kasih sayang. Silaturahmi bertujuan agar antar sesama saling mendoakan dan memberikan informasi penting dan positif  dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika seseorang sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama harus bisa legowo atau menerima pendapat orang lain yang tidak sepaham dan menghargai perbedaan pendapat yang ada. Jika temannya sedang berbicara, maka teman yang lain harus mendengarkan dan memperhatikan dengan seksama. Jadilah pendengar yang baik, menghargai yang sedang berbicara maka kita akan menjadi lebih berharga dan dihargai. Ini sangat penting sekali, mengapa? agar kita bisa menerima segala bentuk perbedaan dalam komunikasi dan membuka diri menerima saran, masukan dan kritikan yang membangun dari orang lain kepada diri kita. Semakin membuka diri akan semakin terbuka pemikiran dan cakrawala berpikir seseorang untuk lebih menerima perbedaan.

Ketika dalam berbicara dan berdebat pun kita harus bisa menggunakan bahasa yang santun, membuat aman orang lain dan menyejukkan saat berbicara. Tentu saja dalam mengkomunikasikan pendapat kita selalu bersikap baik dan sopan,  sekalipun terjadi perbedaan pendapat dan terdapat perdebatan diskusi panjang yang terkadang melelahkan. Nah, di sinilah perlunya sikap toleransi, saling menghargai terhadap segala perbedaan yang ada dengan jalan damai, mendiskusikannya dengan baik dan tidak perlu saling adu otot.
Hal ini penting kita contoh dalam perilaku-perilaku tawassuth agar kita dapat menjauhkan diri terhadap sikap egoisme pribadi, ekstrimisme dan sikap berlebih-lebihan dalam beragama untuk menjadi pribadi santun yang menenangkan umat.

Dikatakan pula oleh Muhammad Makhdum  bahwa salah satu karakter beragama Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah yang paling menonjol adalah tawassuth. Tawassuth atau moderat adalah berada di tengah-tengah, di pertengahan tidak terjebak pada titik-titik ekstrim, tidak condong ke kiri atau cenderung ke kanan, seimbang antara dalil aqli (akal) dan naqli (teks kitab suci), tidak memihak tetapi lebih lebih bersifat menengahi atau menjadi penengah yang adil.
Dalam kehidupan sehari-hari  selanjutnya tawassuth terekspresikan pada sikap yang seimbang antara pikiran, akal dan tindakan, selalu bersikap tenang, bisa membuat nyaman dan aman, tidak gegabah dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, cerdas dalam mengambil langkah dan tidak menghakimi sendiri.
Bayangkan jika kita menjadi pribadi yang apriori dan maunya menang sendiri, tentu saja kita akan dijauhi dan dihindari teman karena pribadi yang arogansi tersebut.
Ketika kita belajar di kelas umpamanya, terjadi perdebatan sengit dan berdiskusi membahas tema-tema faktual, kita harus selalu mengedepankan akal pikiran, berpikir jernih, bersumber pada data dan data bukan emosi atau egoisme pribadi.

Tawassuth sebenarnya telah melekat sangat kuat pada mayoritas umat Islam di dunia sebagai pola pikir dan bersikap dalam kehidupan beragama, termasuk juga di Indonesia.
Sejak jaman dahulu hingga sekarang tawassuth ini mengakar dan terus dipelihara dalam keseharian, menciptakan ketenangan, bersikap ramah bukan marah dan mengusung perdamaian berbingkai kebhinekaan, senantiasa menjaga kerukunan umat beragama dan antar umat beragama.
Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua Indonesia.(*)

Bogor, 30 Juni 2021
Rakhmi Ifada, S.Ag, M.Pd.I
(Guru PAI SMAN 1 Cigombong Bogor)
Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia