Oleh: Dr. Ajang Kusmana
(Guru SMAN 1 Kepanjen Malang Jawa Timur)
Tawadhu adalah merendahkan diri dari kedudukan yang semestinya pantas bagi dirinya, untuk tujuan menghilangkan sifat ujub dan bangga terhadap diri sendiri, dengan niat mendekatkan diri kepada-Nya, dan bukan untuk kepentingan duniawi. (Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi, 6/150 dan Faidhul Qadir, 5/503).
Tawadhu’ merupakan sikap merendahkan diri kepada yang berhak yaitu Allah yang maha suci lagi maha tinggi. Sikap tawadhu adalah sifat terpuji yang menunjukkan bersihnya hati, bersihnya jiwa, dan lapang dada serta luasnya ilmu. Dengan sikap tawadhu akan disibukkan untuk menebarkan kasih saying dan cinta sesama.
Hakikat tawadhu ialah merasa hina dengan tetap berpegang teguh pada kebenaran yang merujuk pada Allah SWT. Tawadhu bukanlah rendah diri, melainkan rendah hati. Orang yang tawadhu tidak akan merasa tinggi hati ketika dipuji. Dan sebaliknya, tidak merasa hina ketika dicaci.
Tawadhu merupakan ibadah yang terbaik, karena sikap ikhlas yang mengedepan. Mukhlis adalah orang yang beramal karena Allah semata, menghindari pujian dan perhatian makhluk, dan membersihkan amal dari setiap yang mencemarkannya. Orang yang mukhlis ialah orang yang tidak peduli, seandainya hilang seluruh penghormatan manusia kepadanya.
أفضلُ العبادةِ التواضعَ
الراوي : عائشة أم المؤمنين | المحدث : ابن الجوزي | المصدر : العلل المتناهية
الصفحة أو الرقم : 2/812 | خلاصة حكم المحدث : رواه الحفاظ عن عائشة رضي الله عنها موقوفا
“Sebaik-baik ibadah adalah tawadhu.”
Seorang yang tawadhu akan dimampukan untuk menunaikan shalat, puasa, sedekah, dan berhaji, karena tidak sedikit orang yang tidak bisa meunaikan kewajibannya setelah mengucapkan syahadat.
Berikut beberapa firman Allah yang menganjurkan untuk bersikap tawadhu.
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِين
“Dan Rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman” (QS. Asy Ssuara: 215)
Rasulullah menyuruh agar umatnya bersifat tawadhu’ dan agar disenangi oleh yang lain, beliau sering menjadi contoh bagi sahabat dan umatnya.
لاتطرونى كما اطوت النصارى ابن مريم انما اناعبد فقولواعبدالله ورسوله
“Kamu jangan memuji aku sebagaimana orang-orang Nasrani memuji putera Maryam, sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah hamba Allah dan utusannya.”
Pada hadis yang cukup panjang Rasulullah saw menunjukkan tingkah laku yang merupakan perwujudan dari sikap tawadhu. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Thabary di dalam Kitabnya Khulashatu Sa’iri Sayyidil Basyar, juz I, halaman 87.
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان في بعض أسفاره فأمر بإصلاح شاة فقال رجل يا رسول الله علي ذبحها وقال آخر علي سلخها وقال آخر علي طبخها فقال صلى الله عليه وسلم وعلي جمع الحطب فقالوا يا رسول الله نحن نكفيك فقال قد علمت أنكم تكفوني ولكني أكره أن أتميز عليكم فإن الله يكره من عبده أن يراه متميزا بين أصحابه وقام صلى الله عليه وسلم وجمع الحطب
“Sungguh, Nabi SAW suatu ketika berada di tengah rombongan safarnya. Kemudian ia memerintahkan agar membereskan dengan baik seekor kambing yang bersama mereka. Lalu tiba-tiba seorang lelaki berkata, ‘Ya Rasulallah, biar aku saja yang menyembelihnya. Lalu datang lelaki lain berkata, ‘Aku yang memotongnya, Wahai Rasul.’ Lelaki lain lagi berkata, ‘Aku yang bagian memasaknya, ya rasul.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku bagian yang mengumpulkan kayu bakarnya.’ Para sahabat bersahutan menjawab, ‘Ya Rasulullah, biarlah kami saja, sudah mencukupi.’ Rasulullah menjawab, ‘Aku tahu bahwa dengan kalian saja sudah mencukupi. Tetapi aku tidak suka sebagai yang diistimewakan di antara kalian, karena sungguh Allah SWT membenci melihat hamba-Nya mengistimewakan diri dari para sahabatnya. Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit dan mencari kayu bakar.”
Tawadhu kepada sesama selama diniatkan untuk mencari ridha Allah SWT akan mendatangkan kemuliaan dan disenangi oleh sesama yang akan berdampak pada eratnya pertemanan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه، عن رَسُولَ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم قَالَ : مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زادَ اللهُ عَبْداً بعَفْوٍ إِلاَّ عِزّاً، وَمَا تَوَاضَعَ أحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ. رواه مسلم وغيره
“Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya,) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya (di dunia dan akhirat).” (HR. Muslim, no. 2588 dan imam-imam lainnya).
Hadits yang mulia ini menunjukkan besarnya keutamaan dan kemuliaan sifat-sifat tersebut di atas (Lihat kitab Syarah Shahih Muslim tulisan Imam an-Nawawi rahimahullah, 16/141), bahkan semua itu termasuk sifat-sifat utama yang dimiliki oleh orang-orang yang bertakwa, sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(Orang-orang yang bertakwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang, maupun sempit, dan orang-orang yang (selalu) menahan amarahnya, serta (mudah) memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Qs. Ali ‘Imran: 134).
Arti bertambahnya kemuliaan orang yang pemaaf di dunia adalah dengan dia dimuliakan dan diagungkan di hati manusia, karena sifatnya yang mudah memaafkan orang lain. Sedangkan kemuliaan di akhirat diwujudkan dengan besarnya ganjaran pahala dan keutamaan di sisi Allah Ta’ala. (Lihat kitab Syarah Shahih Muslim, (16/141) dan Tuhfatul Ahwadzi, 6/150).
(***)
Featured image disediakan oleh www.suarahati.org