By : Beni Nur Cahyadi, S.Pd.I., M.Pd.,M.H
Guru SMK Pancasila 3 Baturetno & Dosen STAIMAS Wonogiri
Fenomena generasi sandwich kini banyak terjadi di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini biasanya terjadi pada seorang anak dalam suatu keluarga, di mana ia harus menghidupi orang tua, keluarganya sendiri, dan anak-anaknya dalam waktu bersamaan. Hasilnya, mereka sering mengalami tekanan psikis hingga memicu gangguan kesehatan
Apa itu Generasi Sandwich?
Seperti yang disebutkan di atas, generasi sandwich adalah sebuah fenomena di mana seseorang harus menghidupi tiga generasi keluarganya yang terdiri dari orang tua, dirinya sendiri, dan anaknya. Istilah ini dicetuskan oleh professor asal Kentucky University, yaitu Dorothy A. Miller, pada tahun 1981 dalam bukunya Social Work.
Ia menganalogikan fenomena ini seperti sebuah roti sandwich, di mana orang tua dan anak dianggap sebagai roti lapisan atas dan lapisan bawah, sedangkan seseorang yang terjebak dalam fenomena ini diibaratkan sebagai sebuah daging atau isi dari sandwich yang terhimpit di tengah-tengah roti.
Di Indonesia sendiri, sandwich generation cukup umum ditemui. Berdasarkan statistik dari BPS (Badan Pusat Statistik) pada 2017, sebanyak 77,82 persen keluarga ditopang oleh anggota keluarga yang bekerja, dan hanya sekitar 7 persen yang mampu menghidupi dirinya sendiri lewat uang pensiun atau hasil investasi.
Sementara itu, lebih dari 50 persen lansia tinggal bersama anak, menantu, hingga cucunya dalam satu rumah yang sama. Hanya sekitar 20 persen saja lansia yang tinggal bersama pasangannya, sementara 9 persen memilih untuk hidup sendiri karena berbagai faktor.
Indonesia akan mendapat bonus demografi dalam 10 hingga 20 tahun ke depan. Puncaknya adalah pada 2045, d imana pemerintah menyebutnya sebagai periode “Indonesia Emas”.
Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk berusia 20-54 tahun yang merepresentasikan generasi sandwich ini mencapai 71.621.318 jiwa atau 26,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Dilihat dari latar belakang pendidikan, berdasarkan data nasional, sebesar 10,8 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas tahun 2022 adalah tamatan perguruan tinggi. Tamatan SLTA 30,4 persen dan SMP 21,7 persen. Selebihnya, tamatan SD/tidak tamat SD.
Penulis di sini tidak akan turut serta memberikan arahan bersifat general seperti yang sudah dipaparkan para narasumber ahli berupa cara menambah penghasilan dengan menjalankan usaha di luar pekerjaan inti atau sederet motivasi membangun lainnya. Namun tulisan ini hendak mengulas dari sisi pandangan Islam bagaimana sebaiknya menyikapi persoalan ini terutama di tengah kondisi global sekarang.
Generasi ini mungkin tidak sefamiliar istilah generasi lainnya yang sedang trend. Namun keberadaaan dan kondisinya tidak dapat diabaikan, karena usia mereka masih dalam jenjang usia produktif yang banyak memberikan kontribusi di tengah masyarakat.
Islam memberi pedoman arah hidup dan keberlangsungan kehidupan di muka bumi yang adil dan merata, di antaranya menyikapi beban yang ditanggung generasi sandwich dalam menanggung hajat hidup dua generasi dalam tanggungannya.
Dan ingatkah kita dalam firman Allah SWT: “Dan Kami perintahkan manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Hanya kepada-Ku lah tempat kembali.” (QS. Al-Luqman 14)
menanggung beban keluarga disebut dengan bersedekah kepada kerabat dan memiliki keutaamaan yang sangat besar di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yaitu diganjar dengan pahala bersedekah sekaligus menyambung silaturrahim (hubungan kekerabatan), hubungan kekerabatan yang dimaksud di sini adalah orang tua, istri, dan anak dalam tanggungannya, sebagaimana hadist dari Salman bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
“Sesungguhnya sedekah kepada orang miskin pahalanya satu sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat pahalanya dua; pahala sedekah dan pahala menjalin hubungan kekerabatan.” (HR. An-Nasai No. 2583, Tirmidzi No. 658, Ibnu Majah No. 1844).
Al Qadhi Abu Syuja dalam Tuasikal (2018) menjelaskan bahwa seorang anak wajib menafkahi orang tuanya jika terpenuhi syarat bahwa orang tuanya dalam keadaan miskin dan tidak mampu lagi mencari nafkah. Atau orang tuanya dalam keadaan miskin dan hilang akal sehatnya, sedangkan nafkah kepada anak menjadi wajib jika memenuhi syarat jika anak tersebut masih kecil (belum baligh) dan miskin; miskin dan belum kuat bekerja; serta miskin dan hilang akal sehatnya.
Nafkah kepada orang tua merupakan salah satu di antara bentuk birrul walidain kepada mereka terutama apabila mereka telah berusia lanjut, maka semestinya tidaklah dianggap sebagai sebuah beban melainkan sebuah kesempatan berharga, tidak semua orang diberi kesempatan meraihnya. Jawas (2020) mengungkapkan bahwa banyak hadits yang menunjukkan kerugian yang dialami orang yang tidak berbakti kepada orang tua terutama saat mereka masih berada di sisi kita dan telah mencapai usia lanjut, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu Nabi ﷺ bersabda,
رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الكِبَرِ، أَحَدُ هُمَا أَوكِلَيْهِمَا، فَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ
“Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga”. (HR. Muslim No. 2551 dan HR. Ahmad 2: 254, 346).
Maka dari itu, seorang muslim persoalan apapun yang tengah menimpanya hendaknya dikembalikan kepada ajaran syariat ini yang luhur lagi paripurna, tidak lagi mengekor kepada apa yang datang dari pamahaman barat melainkan apa yang haq datang dari Allah dan Rasul-Nya. Di sini penulis bukan menguraikan bahwa yang datang dari pemikiran barat semuanya buruk, namun kita benar benar harus mem filter terhadap pemikiran kapitalis dengan menganggap bahwa semua perbuatan harus dihargai dari sisi materi, salah satu di antaranya beratnya memikul beban sebagai seorang generasi sandwich, maka ia bertentangan dengan nilai kemanusiaan, dan keadilan dalam Islam, ada falah yang tidak hanya kita peroleh di dunia semata melainkan lebih dari itu falah di akhirat sebagai tempat abadi, tujuan hidup seorang muslim.
Islam meyakini bahwa kehidupan hari ini adalah hari beramal sebanyak-banyaknya sebagai bekal untuk beristirahat dari hiruk pikuk dunia di negeri akhirat kelak. Bukankah Allah Azza Wa Jalla telah menjamin bahwa harta yang kita keluarkan hakikatnya tidaklah berkurang secara jumlah semata akan tetapi lebih dari itu harta itu bertambah dari segi jumlah dan berkah. Tidaklah orang yang memberi itu akan jatuh dalam kemiskinan, meskipun ia tidak kaya raya dari segi materi namun keberkahan hidup terlihat dari kehidupan seperti karir yang cemerlang, usaha yang berkembang, rumah tangga yang harmonis, anak-anak yang shalih-shalihah, kesehatan, kesejahteraan, dan keamanan semua didapatkan karena kebaikan yang ia berikan pada orang tuanya dan doa yang dipanjatkan orang tua dan keluarganya kepada dirinya.
Semestinya ia bangga mampu menghidup dirinya sendiri beserta anak istri dan kedua orangtuanya di usia terbilang muda dan produktif, di mana jarang orang meraih pencapaian hidup seperti itu, bahkan ia disebut mampu memberi manfaat kepada orang banyak, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-daraquthni), karena memberi manfaat merupakan kepribadian yang harus dimiliki seorang muslim dan sesungguhnya manfaat itu kembali kepada dirinya sendiri.
Dari semua hal tersebut lantas apakah kita masih beranggapan bahwa kedua orang tua kita adalah beban dan menyusahkan hidup kita, naudzubillah. Atau sebaliknya bahwa seberat apapun perjuangan kita dalam menghidupi keluarga kita termasuk kedua orang tua adalah sebuah keberkahan dan kemuliaan tersendiri di sisi Allah. Ada ampunan dan pahala yang berlimpah di dalamnya.
Maka Allah pasti akan memudahkan jalan bagi mereka-mereka yang yakin akan janji-Nya serta memilih berbahagia menjadi Generasi Sandwich. Yang tak mempermasalahkan terjepit diantara dua lapis roti
Maka sepatutnya istilah generasi sandwich secara negatif tidak digunakan kaum muslimin melainkan generasi Anfa’uhum Linnas (Generasi Bermanfat bagi Manusia lainnya).[]
Featured image disediakan oleh https://endeus.tv/