Oleh: Kang Marbawi
Film India berjudul “3 Idiots” yang menceritakan tiga mahasiswa desa Raju, Farhan dan Raccho yang memiliki latar belakang obsesi berbeda. Film yang dibintangi oleh Amir Khan dan Kareena Kapoor, seolah menjadi sindiran yang manis namun telak terhadap praktek pendidikan kita. Latar belakang Film yang menceritakan tiga mahasiswa dari latar belakang yang berbeda, kuliah di sebuah perguruan tinggi teknik terkenal di India, Imperial College of Engineering (ICE). Perguruan tinggi ini melahirkan insiyur-insiyur yang diahir tahun kuliahnya mendapat tawaran kerja di berbagai perusahaan.
Dengan model pembelajaran yang mengutamakan prestasi akademik, dan hafalan, sang Direktur ICE, Dr. Viru Sahastrabudhhi menggenjot para mahasiswanya untuk bisa berprestasi dengan baik. Direktur berprinsip, prestasi akademik akan menghasilkan kesuksesan dengan indikator diterima di perusahaan besar. Hal yang menarik lainnya peran utama Rachhodas Shyamaldas Chanchad yang di perankan oleh Amir Khan ternyata hanya menggantikan Racchodas asli.
Dalam film tersebut, peran Amir Khan atau Phunckh Wangsu menggantikan Ranchhodas asli untuk kuliah di ICE tersebut, ternyata sudah sejak mereka bersekolah di sekolah dasar hingga masuk ICE. Kita akan abaikan peran Amir Khan yang menggantikan Ranchhodas asli dalam menempuh pendidikan dimana hal tersebut tidak dapat dilakukan saat ini. Namun yang perlu mendapat perhatian adalah kenapa Amir Khan atau Phunckh Wangdu menggantikan peran Racchho. Ternyata hal tersebut Karena keinginan dari ayah Raccho yang hanya berpikir bahwa dia dan Rachho sebagai orang kaya hanya membutuhkan IJAZAH saja. Bukan proses pendidikan yang harus dilalui. Karena menurut ayah Rachho, dengan Ijazah dari ICE anaknya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan bergaji tinggi.
Film “3 Idiots” ini memberikan kritikan terhadap beberapa hal. Paling tidak dalam kaca mata penulis ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian. Yang pertama film ini mengkritik rezin kompetensi atau rezim prestasi akademik yang mengabaikan bakat dan potensi siswa. Kedua sistem pendidikan yang mengedepankan kompetensi yang harus dimiliki siswa tanpa mengembangkan sisi manusia atau humanisme, sisi bakat siswa. Atau sistem pendidikan yang tidak menguatkan sisi humanisme. Ketiga adalah kecendrungan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya karena tujuan mendapatkan penyakit ijazah atau diploma , agar anaknya mudah untuk mendapatkan pekerjaan.
Perguruan tinggi ICE dalam film tersebut hanya menjadi penyedia tenaga terampil yang dibutuhkan perusahaan-perusahaan. Dimana setiap ahir tahun, mahasiswa ICE mengikuti tes wawancara dari berbagai perusahaan yang datang ke ICE untuk merekrut karyawan. Sehingga sekolah hanya menjadi komodifikasi dari kebutuhan industri dalam menyediakan kebutuhan tenaga pekerja. Sekolah dalam pandangan kapitalis tidak lebih dari penyedia calon tenaga kerja yang memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan industri. Model Pendidikan yang terorganisir ICE tersebut membenarkan tesis, Carlo Fanelli dan Bryan Evans, mengutip As Kumar: “Pendidikan lebih dari sekedar berorganisasi di ruang kelas. Ruang kelas akan didominasi oleh kepentingan sosial yang melingkupinya ”.
Pandangan Carlo Fanelli dan Bryan Evans ini menguatkan bahwa Pendidikan sebagai komodifikasi atau barang dagangan yang dapat diperjual-belikan dengan orientasi keuntungan. Maka kemudian Undang-Undang Perdagangan pasal 7 menyebutkan Pendidikan bagian dari “jasa” pendidikan yang dapat di perjual belikan. Carlo Fanelli dan Bryan Evans, menggambarkan sistem sekolah umum ( publik ) harus berlari (melayani dengan sigap) seperti rumah makan yang siap memenuhi standar minimum.
Pendidikan dalam pandangan “ seorang ahli kapitalisme ” ini tidak hanya menyediakan lulusan dengan kemampuan atau keahlian tetapi juga ajakan siswa untuk memahami dan memasuki aturan disiplin seorang pekerja. Saat ini menjadi era Golden Age of Capitalism , yaitu masa dimana produktivitas dan akumulasi kapital dalam berbagai aspek kehidupan sosial, politik dan tujuan ekonomi termasuk pendidikan. Ini artinya pendidikan dalam sistem kapitalis sudah diarahkan untuk kebutuhan industri kapitalis.
Sehingga yang terjadi adalah pendidikan dunia menjadi sebuah industri. Saat ini pendidikan di Indonesia menganut sistem fungsional dan matrialisme . Dimana pendidikan dijalankan untuk memenuhi dunia kerja. Sekolah-sekolah tersebut menawarkan alumnusnya siap diterima di dunia kerja ini dengan sebuah sistem pendidikan siap pakai dan siap kerja. Tengok saja bermunculan berbagai sekolah-berbagai sekolah yang dikelola oleh swasta yang menawarkan kualitas tertentu dimana konsumennya adalah kelas masyarakat tertentu, dan kalangan profesional dengan tahapan yang tinggi. Model pendidikan sekolah-sekolah yang eksklusif ini bisa dibilang menganut paham pendidikan mesin-marxis.
Mari kita lihat dan model bedah pendidikan dan peta jalan pendidikan kita saat ini dengan pisau analisis teori Trikonnya Ki Hadjar Dewantoro. Yaitu Kontinutas, (pendidikan kreatif harus menjaga dan memperkuat nilai budaya bangsa sebagai bekal jati diri siswa), Konvergenisitas (pendidikan harus mampu melahirkan yang mampu berdialog dengan budaya lain, yang setara) dan Konsentris (pendidikan harus mampu melahirkan generasi yang dan inovatif dalam menghadapi perkembangan global dan mampu memecahkan masalah yang dihadapinya)