Ahmad Taufik Nasution
Mentari dengan sinarnya memberi kehangatan pada tubuhku, bagaikan selimut putih yang melilit tubuh ringkihku, maklum waktu itu aku mahasiswa dari Kota Pematangsiantar yang menuntut Ilmu di UISU (Universitas Islam Sumatera Utara) Medan, kampus tertua di luar Pulau Jawa. Jarum jam dinding ruangan menunjukkan kisaran pukul 9.30 WIB, aku menempelkan kaki dilantai Perpustakaan Provinsi Sumatera Utara-Depan Istana Maimun Kota Medan. Ketika itu, suasana ruangan dari kejauhan terlihat dua orang bagaikan dua titik hitam di atas kertas putih–yang satu pustakawan, dan lainnya lagi seorang wanita berjilbab panjang dan longgar, ah…pasti mahasiswa, gumam dalam hatiku.sambil melihat disekeliling ruangan yang sunyi senyap.
Aku melangkahkan kaki, ke dalam ruangan utama perpustakaan. Rutinitas diawali dengan membubuhi tanda tangan sebagai pengunjung perpustakaan yang setia. Seyum pustakawan itu dan tatapan wanita yang sudah berkepala tiga itu, mengenalku sebagai pengunjung yang rajin, setiap minggu aku selalu meminjam dua buah buku, aku pinjam buku apa saja. Ketika mahasiswa aku senang membaca buku tentang politik, bahasa, psikologi dan tentunya buku Islam populer karya Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholish Madjid, Dawam Raharjo, Quraish Shihab. Juga buku buku agama Islam klasik hingga kontemporer. Oh, ya aku juga baca buku buku yang lagi trend di dunia Barat seperti karya Daniel Goleman, dan Ian Marshall tentang temuan-temuan konsep kecerdasan terbaru di dunia Barat, mulai dari EQ (Emotional Quetion) hingga SQ (Spiritual Quetient)
Baiklah, kembali ke ruangan perpustakaan. Aku berjalan, seperti menyisir rambut wanita panjang, aku “belah” dan aku baca tulang-tulang buku, sambil memiringkan kepala, mataku menyorot tajam buku apakah yang menarik, jika aku tidak ketemu judul yang memikat, aku selalu melihat judul yang berserakan di meja-meja panjang dan lebar itu, dari tumpukan buku aku melihat ada buku dengan cover wajah yang seolah wajah dalam cover melihat wajahku, he…he….Lalu, aku tertarik untuk mengambilnya.
Muhammad Iqbal (1877-1938) (islami.co)
Kujulurkan tanganku, kuambil buku kecil namun agak tebal. Ah… ternyata wajah Muhammad Iqbal (1877-1938) sang filosof Muslim dari India. Cover itu agak coklat dengan gambar Iqbal memakai peci agak panjang dan memakai jas dengan kumisnya yang hitam melintang dengan wajah tampannya. Terkesan dari gambar dan pakaiannya, Iqbal adalah seorang yang bersentuhan dengan gaya dan pendidikan Barat. Pakaian yang dipakainya adalah pakaian jas hitam, yang biasa dipakai oleh kalangan Barat. Selama ini aku mengenal Iqbal sebagai sastrawan. Buku puisi pertamanya, Asrar-e-Khudi, juga buku puisi lainnya termasuk Rumuz-i-Bekhudi, Payam-i-Mashriq dan Zabur-i-Ajam; dicetak dalam bahasa Persia pada 1915. Di antara karya-karyanya, Bang-i-Dara, Bal-i-Jibril, Zarb-i Kalim dan bagian dari Armughan-e-Hijaz merupakan karya Urdu-nya yang paling dikenal. Bersama puisi Urdu dan Persia-nya, juga berbagai kuliah dan surat dalam bahasa Urdu dan Bahasa Inggris-nya telah memberikan pengaruh yang sangat besar pada perselisihan budaya, sosial, religius dan politik selama bertahun-tahun.
Aku buka lembar demi lembar, dan aku baca riwayat hidup, keluarga, pendidikan, karir dan pemikirannya. Banyak hal yang membuat aku kagum dengan Iqbal. Iqbal mengatakan, bahwa pandangan dunianya tidak melalui spekukasi, tapi diwarisi dari kedua orang tuanya, Sang Ayah dikenal sebagai seorang penjaja selendang di Lahore, Pakistan. Ia dekat dengan kalangan Sufi, dan Ibunya adalah wanita yang sangat religius. Dari pemikirannya, Iqbal adalah seorang pemikir muslim yang terbuka (inklusif), hal ini bisa jadi dipengaruhi interaksinya dengan guru-gurunya yang berasal dari Barat seperti Sir Thomas Arnold, Dr. John Mc. Taggart dan James Ward. Iqbal bisa melihat bagaimana Barat bisa maju dengan keterbukaan pemikiran.
Iqbal sejak kecil dia sudah diajarkan untuk menghafal Al-Qur’an, sehingga identitasnya sebagai seorang Muslim tidak perlu diragukan. Didikan ayah dan ibunya serta kecerdasan Iqbal menjadikan dia punya pemikiran Islam yang inklusif. Iqbal adalah sosok yang tidak nyaman hanya mengkaji masalah filsafat dan kesusaatraan Arab, namun Iqbal mengambil peran sebagai pengacara dan juga pernah menjadi anggota Parlemen, dan menggagas pembentukan Negara Islam Pakistan. Iqbal adalah seorang manusia merdeka, dia tidak ingin kebebasan akademiknya disekat oleh sistem yang membatasi ruang geraknya sebagai dosen di Universitas Oriental College (1899-1990), ketika itu ia sangat ambisius, namun perannya sebagai Profesor sangat dikekang dan ketika itu oleh pemerintah Inggris yang mengawasi pendidikan secara ketat, akhirnya Iqbal mengundurkan diri.
Pernyataan Iqbal yang paling saya ingat, ketika mahasiswa membaca dari buku buku terjemahan yang berkertas kuning dan sering saya kutip dan sampaikan diruang-ruang kelas sebagai guru dan dosen adalah, Tuhan yang menciptakan pohon, tapi manusia yang membuat kursi, Tuhan yang menciptakan pohon, tapi manusia yang menciptakan lemari. Dari pernyataan Iqbal ini menggambarkan bagaimana dia mengakui eksistensi Tuhan, tapi juga dia memberi ruang agar manusia berkreativitas. Dari Iqbal aku mengenal hikmah bisa aku peroleh dari Barat atau dari Timur, apalagi setelah aku mengikuti Short Course di Griffith University, Australia tahun 2016, aku melihat bagaimana perpustakaan, ruang kuliah dan semangat orang-orang di luar dalam menyikapi ilmu dan perbedaan warna kulit, menjadi wawasan baru perlunya inklusifitas dalam memandang perbedaan, sebagaimana Iqbal memandang Barat tanpa melepas akar budayanya sebagai seorang Muslim.[]
*Guru PAI SMA Negeri 2 Lubuk Pakam, Peserta Workshop Pelatihan Menulis AGPAII-Desantara*
Featured image disediakan oleh geotimes.id