SABARI NGIUHAN

Oleh : Saedi
GPAI SMPN 2 Satuatap Muncang Kab.Lebak, Banten Kab. Lebak, Banten

(*Sabari ngiuhan = Sambil berteduh

Lokasi sekolah yang jauh dari tempat tinggal saya, mengharuskan perjalanan ditempuh dengan kendaran bermotor yang betul-betul prima. Kurang lebih 90 menit perjalanan melewati hutan dengan jalan bebatuan yang licin menanjak, menukik, juga belokan yang tajam. Di penghujung tahun dengan cuaca ekstrim tidak menjadikan alasan untuk alpa atau malas berangkat tugas ke sekolah.

Implementasi rasa syukur atas nikmat-Nya menjadi pendidik sebagai pilihan hidup mengharuskan selalu hadir ditengah-tengah murid-murid. Tak tega serta kasihan kepada mereka jika tak hadir. Pastinya mereka menanti kehadiran saya hari itu. Mereka haus kegiatan, rindu bimbingan, dan lapar apresiasi. Itu merupakan motivasi kuat saya untuk hadir setiap hari ke sekolah di tonggoh.

Di tengah perjalanan jauh dari perkampungan, hujan makin deras. Saya harus menepi, lalu berteduh di saung H. Sadeli (Hutan Corogol). Kesemutan yang sejak tadi sudah terasa, semakin membuat saya ingin menepi. Istirahat lalu berteduh, untuk menghilangkan rasa kesemutan di jari-jari tangan kanan.

Bulan Desember, kata Desember sering diplesetkan dengan kalimat “gede gedenya sumber”. Bulan Desember adalah bulan terakhir di tahun Masehi. Dalam pembelajaran ilmu geografi bulan ini adalah puncak datangnya musim hujan. Dalam iklim Indonesia terdapat dua musim, yakni 6 bulan musim kemarau dan 6 bulan lagi musim hujan. Pengetahuan menjelaskan itu, meski kenyataannnya pada akhir-akhir ini tidak menentu, hujan turun sepanjang tahun.

Berteduh sambil mencari sinyal di Carogol

Di saung itu saya berteduh, saya berpikir bahwa alam ini sudah tidak seimbang lagi, baru hujan beberapa waktu saja air sungai langsung meluap. Sebaliknya, baru beberapa hari saja kemarau, air sungai langsung surut, sumur-sumur sudah mengering. Hujan yang tumpah ke bumi tidak ada lagi yang menahannya, atau tidak tersimpan karena resapan air yang selama ini sudah nyaris tidak ada. Penahan itu tidak lain adalah pohon-pohon besar (tua). Hari ini hutan-hutan yang hijau sangat sedikit dan gundul. Menebang sehari, menanam bertahun-tahun. Setiap perjalanan saya ke sekolah, selalu menyaksikan pohon-pohon ditebang habis. Bahkan pohon baru sebesar tangan anak kecil pun habis ditebang. Sayangnya sang pemilik hutan, tidak segera menanamnya kembali. Yang menebang itu adalah generasi saat ini. Mereka tidak lagi memikirkan dampak negatif dari penebangan pohon. Yang difikirkan hanya bagaimana kebutuhannya bisa terpenuhi. Padahal dampaknya mereka tau dan merasakan. Seringnya longsor hingga jalanan tertimbun. Banjir yang menggerus aliran sungai hingga beberapa rumah yang ada di sisinya harus ditinggalakan sang pemilik. Alam semakin rusak, akibatnya semakin mahal biaya hidup.

Banyaknya peraturan pemerintah yang mengatur kelestarian lingkungan hidup tidak digubris, semua diabaikan. Sebenarnya banyak sekali program pemerintah tentang penghijauan. Diantaranya pananaman sejuta pohon, gerakan pegawai menanam pohon, reboisasi, dan lain-lain. Sayangnya program itu tidak berjalan. Maka tidak ada cara lain, yaitu pendidikan ke murid tentang pentingnya melestarikan hutan. Cara lain adalah pendidikan di masyarakat berupa pola hidup mencintai alam dan lingkungan.

Sebagai pendidik di lingkungan pegunungan (hutan), pedesaan dekat dengan kecamatan dan perkotaan tentunya strategi dalam memberikan pemahaman pendidikan lingkungan hidup bisa diterapkan pada semua mata pelajaran. Dalam pendidikan agama ada akhlak kepada alam dan lingkungan, dalam pramuka terdapat cinta alam dan kasih sayang sesama manusia. Dan materi yang selaras dengan lingkungan hidup di mata pelajaran lainnya.

Memelihara kearifan lokal dan sumber daya alam, dan pembelajaran mengarahkan murid agar menjaga kelestarian alam. Mengajak semua untuk mewariskan hutan yang asri, sungai yang jernih dan bersih. Sungai yang tidak tercemar oleh limbah dan sampah pelastik. Menanamkan dalam diri murid cara mengelola sampah yang bijak. Membuka peluang hidup dari mengelola sampah.
Kepedulian ini bukan tugas pendidik saja, melainkan semua unsur masyarakat. Pemerintah, harus bergerak bersama masyarakat. Mulai dari tingkat RT hingga desa. Kemudian pemerintah daerah hingga pusat membuat payung hukum hingga pengelolaan sampah bisa berjalan baik.

Peraturan terkait penebangan hutan, pengelolaan dan cara buang sampah, harus dibenahi. Saya berharap lembaga dan organisasi masyarakat lainnya juga ikut fokus mensosialisasikan tentang upaya-upaya pelestarian lingkungan. Memasang baliho sepanjang sungai degan tulisan mari wariskan sungai ini kepada anak cucu kita bisa jadi alternatif untuk membangunkan tanggung jawab bersama.[]

Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia