Memaknai Sila Kedua: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab Bagian Ke Empat “Putu Wijaya”

Seri Belajar Filsafat Pancasila ke 30

Oleh: Kang Marbawi

Sembari terbaring sakit di RS Cipto, pada tahun 2012, Putu Wijaya soal keadilan. Kata yang sulit untuk ditemukan dalam kehidupan nyata. Melalui cerita pendek yang dia tulis berjudul “Keadilan”. Diceritakan salah satu tokoh dalam cerita pendeknya, Pak Amat yang belanja tukang es dari pistol balita Pak Sersan, tapi justru mau dicelurit tukang es. Sebab Pak Amat belum membayar semangku es yang memesannya. Sementara Pak Sersan tidak terganggu dengan suara klenengan yang terbuat dari kuningan -sebagai penanda dan pemasaran, tukang es. Mereka bertiga tidak menjamin adil satu sama lain.
”Belum sampai satu abad merdeka, citra anak bangsa terhadap keadilan sudah berbeda-beda” kata Pak Amat, tokoh dalam cerita “Keadilan” Putu Wijaya.

Cerita “Keadilan” itu ditulis Putu Wijaya sambil terbaring di ranjang Rumah Sakit Cipto tahun 2012 lalu. Entah terinspirasi dari mimpinya.
Persepsi adil bisa jadi berbeda antara manusia. Sebab manusia punya mau dan kebutuhan serta profesi yang beda. Sebut saja Basuki, guru agama 027 Sekijang Tapung Hilir Kampar Riau. Bagi Basuki, adil adalah dihargai profesinya, tidak terintimidasi, memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri, mendapat kesempatan untuk diangkat Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) serta bebas jalan-jalan setelah selesai tugas. Beda lagi bagi Sarwini pedagang sayuran keliling. Adil bagi Sarwini adalah boleh berdagang keliling kemana saja asal ada pembeli. Bisa membeli sayuran di pasar dengan harga murah dan dijual dengan harga yang pantas dan tak memberatkan ibu-ibu rumah tangga yang kadang kepepet uang gaji bulanan suaminya. Bagi pedagang asongan, bisa jadi adil itu tak dikejar-kejar Satpol PP. Entah apa lagi, terserah pembaca.

Adil dalam perspektif rakyat banyak akan sesuai dengan profesi dan kepentingannya. Paling sederhana persepsi adil bagi orang kebanyakan, tidak merasa di intimidasi, dihargai profesinya, bebas kemana saja, bisa mengakses semua layanan pendidikan, kesehatan atau apapun tanpa dibedakan dengan pejabat. Pun jadi pejabat jika dibolehkan! Asal tidak tergiur korupsi! Karena pejabat sejatinya adalah pelayan rakyat! Bukan “tuan” rakyat!
Adil juga bebas melakukan apa saja asal tidak bertentangan dengan hukum. “Ab imo pectore”, keinginan dasar untuk aman dari lubuk hati yang yang paling dalam. Mungkin itu adil bagi masyarakat kecil. Termasuk adil dalam perspektif melihat fakta di luar dirinya. Seperti diskriminasi perlakuan hukum, sosial, budaya dan politik terhadap objek atau individu diluar dirinya.

Karena rakyat itu jumlahnya banyak, 271.066.000 orang menurut perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, makna adil tentu persepsinya bisa jadi sejumlah itu.

Repotkan?

Maka ikuti nasehat Kiai Haji Husen Muhammad, kiai dari Arjawinangun Cirebon. Menurut Kang Husen, begitu dia sering dipanggil, mewujudkan kehidupan yang damai, mewujudkan tatanan sosial yang sejahtera, dan mewujudkan keadilan bagi kemanusiaan, adalah landasan untuk berbuat adil. Landasan ini boleh dipakai siapa saja. Jika yang tidak mau pakai landasannya Kiai Husen, silahkan, asal tak mencederai rasa kemanusiaan. Bukan begitu Kang Husen?
Berbuat adil berbeda dengan menegakkan keadilan. Berbuat adil itu, bisa untuk diri sendiri, keluarga, orang lain, masyarakat, negara, agama/tuhan dan adil untuk lingkungan/alam raya. Bentuk berbuat adilnya boleh macam-macam. Asal tidak berdasarkan kepentingan sendiri, semau sendiri dan bener sendiri. Tetap harus berlandaskan maqoshid al-syariah, Imam Syatibi.

Soal menegakkan keadilan, ini agak rumit. Sebab tidak semua orang bisa menegakkan keadilan. Berabe jika semua orang bisa menegakkan keadilan secara sendiri-sendiri. Yang terjadi bisa jadi seperti dalam cerita “Keadilan” Putu Wijaya. Sebab perspektifnya jadi berbeda dan sarat kepentingan diri sendiri.
Lah, lalu siapa yang berhak menegakkan keadilan? Harusnya penguasa!

Apakah tukang sol sepatu bisa men-sol kehidupan yang dianggap tidak adil?Tentu bisa.
Siapapun yang memiliki pemikiran “waras” dan peka kemanusiaan harus bersama menegakkan keadilan. Caranya, bisa disampaikan dengan berbagai macam cara. Bisa dengan demo, protes, kirim surat pembaca ke redaksi Pasundan Ekspres, hingga lapor Pak Lurah. Ketika menyampaikannya juga boleh sendiri-sendiri, berkelompok seperti bermain bola kasti, atau mengajak orang sebanyak-banyaknya seperti mau nonton konser dangdut Rhoma Irama. Asal jangan anarkis, tertib dan menjaga protokol kesehatan.

Adil bagi Basuki -guru agama atau Sarwini si tukang sayur atau tukang sol sepatu adalah sederhana. Kita tidak saling ganggu, kita saling menolong dalam kesulitan, bersama dalam bahagia, saling menghargai, tidak mementingkan kepentingan sendiri dan tepo seliro/tenggang rasa. Bebas berusaha tanpa takut ada intimidasi dari siapapun dan gampang nyari rejeki. Dan tak di diskriminasi oleh siapapun. Laki-perempuan, beda agama, kaya-miskin,rakyat biasa atau pejabat punya hak hukum yang sama dan kewajiban yang proporsional. Adil bagi rakyat banyak adalah penguasa tidak oleng ke kiri dan ke kanan (tawasuth), tergiur suap berlabel keserakahan dan kepentingan. Dan tetap lurus meniti jalan untuk melayani dan menghamba kepada kepentingan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat (I’tidal). Adil juga tak disesatkan karena beda cara ibadah dan keyakinan.

Sederhanakan?

Sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, bukan saja untuk penguasa. Namun rakyat harus berlaku dan berlaku adil. Tidak bisa keadilan disematkan hanya untuk penguasa. Walau pada akhirnya penguasalah pengemban utama untuk menegakkan keadilan.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab itu, ketika akses ekonomi, budaya, dan pendidikan terpenuhi secara proporsional untuk rakyat. Bisakah para pengkhutbah serta penguasa mewujudkan itu? Adakah keteladanan dalam hal mewujudkan keadilan? Bisakah kita sebagai rakyat biasa juga adil? “Tanyakan pada rumput yang bergoyang”, kata Abid Ghoffar bin Aboe Dja’far atau Ebiet G Ade. Mari kita renungkan. Salam Kang Marbawi.

tautan:  https://www.pasundanekspres.co/catatan/memaknai-sila-kedua-kemanusiaan-yang-adil-dan-beradab-bagian-ke-empat-putu-wijaya/

Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia